9 | Kuil di Balik Kemerahan

49 3 0
                                    

~•~

"Benar-benar, semua nampak merah dalam pandangan!" Zura berdecak.

Mengikuti arah angin, saat pagi bertemu kembali dengan pagi, mereka habiskan lamanya waktu di kapal demi mengarungi lautan lepas. Dan kini, penampakan pulau di seberang timur sudah terlihat jelas. Sekilas daratan kecil itu memang indah tatkala senja datang, namun cahaya kejinggaan yang memenuhi hamparan langit dan bentangan laut karena hilangnya matahari di peraduan justru menambah aura mistik yang kental nan mencekam. Tak heran bila tidak ada kapal lain yang melintas dan malah menjulukinya sebagai pulau merah.

Konon katanya, di pulau itu memang terdapat sebuah kuil keramat, kuil yang sengaja dibangun beberapa ratus tahun lalu guna menempatkan sebuah patung bertuah. Tidak ada yang tahu persis bagaimana asal-usul patung itu, sebagian orang menganggapnya kuil suci yang bisa mengabulkan keinginan, namun banyak orang pula yang menyakininya sebagai aula neraka karena keberadaannya sendiri adalah tabu. Setelah lama tak berpenghuni klan nomaden lantas datang bersinggah dan memilih untuk menetap di tanah keberadaan kuil bernama Kwan itu, tapi yang terjadi klan itu justru terbantai tak tersisa secara misterius. Desas-desus pun menyebar, kalau sesosok iblis jahat tengah bersemayam dan menjadi pusatnya aura negatif yang semakin lama semakin pekat.

Pergerakan kapal yang mereka naiki melambat dan akhirnya sampailah jua di tepi daratan. Meski Zura berkata demikian, tetapi apa yang dilihat Menma tentu berbeda. Dalam pandangan pria itu hanyalah seluruh bayangan hitam tak berujung dan sedikit aura merah dari kejauhan. Setelah jangkar diturunkan, kedua insan itu bergegas kembali mengemasi sisa bawaan yang diperlukan untuk perjalanan selanjutnya, namun Paman Li lekas berkata, "Tidakkah kalian menunggu dan bermalam di kapal saja?"

Zura melambaikan tangannya, ia menyengir, "Tidak usah khawatir Paman, akan lebih baik kalau kita segera mencapai tempat yang ingin dituju itu."

Paman Li menghela, "Baiklah, aku tidak bisa memaksa. Berhati-hatilah, akan kutunggu kepulangan kalian."

Zura dan Menma lantas menundukkan kepala kepada Paman Li sebagai rasa terima kasih dan pamit atas kepergian, kemudian tanpa ragu kedua langkah kaki itu mulai menjauh dan perlahan menghilang dalam rerimbunan hutan. Paman Li yang tadinya ingin masuk kembali ke dalam kabin, mengernyitkan matanya kala samar-samar melihat sebuah perahu kecil melintas. Aneh, tidak biasanya.

Di atas perahu kecil itu nampak figur seseorang berjubah kebiruan, mengibaskan kipas dengan sebuah Hossu (*tongkat pendek dari kayu/bambu dengan rambut bundel atau rami yang dipegang oleh seorang pendeta Budha Zen) bertengger di lekukan lengannya. Manik matanya menatap teduh dengan garis alis turun, dalam desiran angin ia bergumam, "Sudah cukup kebencianmu terhadap manusia, Wushi. Semua akan berakhir. ..."

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


...

"Brrr! Air sungai di sini dingin sekali," Zura berceletuk sambil terus membasahi wajahnya.

MAZURA | √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang