Gak nyangka akhirnya bisa sampai ending, gaess🥺
~•~
Kobaran api mulai menyusut bersama hilangnya aura gelap Iblis Wushi.
Sementara dari kejauhan seseorang berjubah kebiruan lantas terjatuh lemas di perahunya, sekarang energinya begitu terkuras habis untuk menahan Wushi selama ini. Sebenarnya ia bisa saja mengantarkan Menma menuju Kuil Kwan itu sendiri, namun Pendeta Zu tak ingin Menma tahu jikalau energinya habis, mungkin saja ... nyawanya pun akan habis dan menghilang layaknya Iblis Wushi. Pria bermata teduh itu menatap sendu kipas putihnya, ia mengamati motif hitam berlukis merpati di sana; goresan yang terlukis dari jemari sahabatnya.
Pendeta Zu bergumam, "Ini mungkin akhir terbaik bagi kita berdua, Wushi. Akhir segalanya... ..."
Setelah sosok bayangan Iblis Wushi telah tiada, abu dan patungnya terbakar menghitam. Mendadak saja Menma mengerang kesakitan memegangi kedua matanya itu, punggungnya pula terasa sakit seperti ada yang mengelupas sebelum ia pun terjatuh dan tak bergerak untuk beberapa saat.
Zura yang tadinya terpana melihat kejadian tadi dan bernapas lega, kini kembali panik dan segera menghampiri Menma, terlebih kondisi pengelana buta itu yang sedang terluka berat.
Jantung Zura berdetak tak karuan, ia mengguncangkan tubuh Menma berkali-kali, "O-oy, apa yang terjadi denganmu?? Aku mohon...bertahanlah." Sesuatu yang berair mulai membendung di pelupuk matanya.
Tanpa Zura ketahui, Menma rupanya tersadar dengan cepat, pria itu merasakan sudah tak ada lagi pola kutukan di punggungnya dan perlahan ia lantas membuka kelopak matanya itu.
"Zura ... apa itu kau?"
Zura lekas mendongak, ia lalu menatap kedua mata Menma tak percaya. Karena ... sepasang bola mata beririskan hitam terang terpancar indah disana!
"Gege! Matamu! Apa kau... bisa melihatku sekarang?"
Menma sendiri terperangah, lalu mengangguk singkat.
Ekspresi bungah spontan melanda hati dan wajah Zura, remaja itu langsung saja memeluk Menma erat. Ia terisak, "Syukurlah... aku sangat takut jika kau tidak tersadar kembali!!"
Pria itu pun akhirnya bisa menyunggingkan senyum di bibir tipisnya; hatinya menghangat, "Maaf. Aku sempat meninggalkanmu," Ia mengelus kepala Zura.
Kedua tangan Menma kemudian beralih membelai pelan kedua pipi remaja itu, Menma menempelkan keningnya ke kening Zura. Selepasnya berkata, "Kau ... memang cantik seperti yang kubayangkan."
Semburat kemerahan sontak merayapi wajah Zura, ia tersentak dan segera menepis Menma, "Ge-gege! Apa maksudmu?! ... A-aku ini laki-laki tau!" sergahnya. Namun Menma hanya terkikik dan bangkit berdiri.
Zura kini menganga tak habis pikir, "Ja-jangan-jangan! Kau... sudah tau kalau aku ini sebenarnya ... perempuan. ? "
Kali ini Menma menggetok kepalanya pelan sebelum ia pun mengangguk, remaja itu spontan merasakan kedua pipinya memanas dan mungkin saja wajahnya telah memerah seperti tomat.
Menma berbalik sekilas menatap keberadaan Kuil Kwan itu dari luar. Kini semuanya telah berakhir; pulau merah, kuil keramat, pola kutukannya dan iblis jahat. Sekarang ia berhasil mendapatkan kedua matanya itu. Menma pun benar-benar tak sabar ingin kembali dan melihat bagaimana rupa Pendeta Zu yang telah berjasa baginya.
Dengan lemas Menma memutuskan untuk melangkah masuk ke dalam kuil itu lagi, ia mengambil pedangnya yang telah menjadi logam hitam dan berkarat itu dari patung yang telah hancur. Matanya menatap sendu pada pedang sang ayah. Pedang yang menjadi awal dan akhir bagi takdir kelamnya.
Dari belakang Zura yang telah menetralkan dirinya sontak menyusul Menma masuk dan berkata, "Tak apa, pedangmu pasti bisa diperbaiki lagi nanti."
Menma setuju dengan hal itu, lantas menyarungkan pedang itu kembali ke tempatnya. Meskipun sudah tidak bisa dipakai lagi, Menma pun akan tetap menyimpannya.
Zura menghembuskan napas kala melihat patung pendekar itu, ia nampak berpikir, "Mm Gege? Aku dengar sebelumnya kau dan iblis itu membicarakan soal kebencian masa lalunya dan pasal Pendeta Zu. Memangnya kebencian seperti apa yang membuatnya menjadi jahat seperti itu?"
"Entahlah. Pendeta Zu ... tidak menceritakan semuanya kepadaku." Menma terdiam, "Mungkin saja kebencian yang benar-benar membuatnya sakit hati akibat ulah manusia itu sendiri. Ia pun akhirnya lebih memilih di jalur iblis untuk meluapkan kebencian. Dan apapun itu ... itulah adalah kisah yang hanya diketahui oleh mereka berdua."
Zura berusaha mencerna perkataan Menma yang serasa berputar-putar di otaknya.
"Zura," Menma menyadarkannya. Sekarang ia bisa menatap sosok remaja itu lembut dengan kedua manik hitamnya. "Mari pulang," ucapnya kemudian.
Senyum di wajah Zura sontak merekah senang, ia menggangguk antusias. Dengan hati-hati Menma lantas dipapah berjalan olehnya; keluar dari Kuil Kwan, menuruni bukit dan berjalan kembali ke tepi daratan pulau ini. Seperti biasa, selama perjalanan Zura pun tak habis-habisnya mengeluarkan suaranya yang banyak bicara.
"Oh iya, bagaimana dengan kekuatanmu itu? Apa ini artinya kau.. tak bisa mengalahkan siluman lagi?"
Menma membalas, "Yang jelas aku masih bisa mengandalkan kemampuan bertarungku."
Zura manggut-manggut, "Ooh dan juga! Darimana kau bisa tau kalau aku ini perempuan?!"
Menma kini tertawa kecil, "Meskipun penampilanmu itu dapat mengecoh orang yang melihatmu dan menganggapmu sebagai anak laki-laki. Tetapi ... tidak denganku." Ia melanjutkan, "Aku tahu. Pasti berat jika kau berkelana sendirian dengan wujud perempuanmu. Kau pasti akan sering dilecehkan, makanya kau lebih nyaman jika menyamar menjadi laki-laki."
Zura terperangah, "Wah, wah... kau sudah mulai berubah Gege! Baguslah jika sifat dinginmu itu mulai mencair!"
Menma mengerutkan keningnya sesaat, lalu tersenyum tipis nan begitu menawan dengan mata indahnya, "Mm. mungkin ... saja?"
~• TAMAT •~
.
.
.
.
.Mohon lanjut baca di prakatanya ya hehe🤭
KAMU SEDANG MEMBACA
MAZURA | √
Fantasy•| Fantasy-Adventure |• Mazura atau lebih sering dipanggil Zura ialah nama remaja pencuri yang sering berkeliaran seorang diri untuk bertahan hidup, suatu ketika ia mengincar seorang pria pengelana buta yang tengah singgah di perbatasan desa, namun...