⚪ Atensi ⚪

492 90 80
                                    

Hari itu, langit terlihat cerah walau semburat jingga telah memoles

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Hari itu, langit terlihat cerah walau semburat jingga telah memoles. Hari yang cerah, bahkan ketika senja menyambangi.

Hari itu, senja itu, kita bertemu. Di bawah atap rumah makan berkonsep sederhana. Kamu dengan segelas teh hangat, dan aku dengan satu cup kopi hitam.

Duduk berhadapan dengan dua meja bundar yang membentang. Tanda yang cukup valid, kalau kita belum pernah mengenal sebelumnya.

Kita sama sama sibuk, bahkan dengan minuman masing masing. Aku sempat melihat, kamu menikmati manisnya teh hangat, pun asap tipis yang mengepul. Entahlah, pemandangan itu cukup membuat aku tenang, walau jalanan luar tidak kunjung mereda.

Mengalihkan atensi sejenak, ketika lonceng pintu masuk berdenting, tanda pengunjung lain yang datang. Tapi kamu cukup merebut perhatian, setidaknya hanya untuk senja ini. Aku kembali melihat ketenangan itu, sekarang melalui senyummu.

Aku sudah bilang tadi, senja sedang menyambangi. Namun sekarang sudah kembali pergi. Dari balik bingkai jendela, tampak langit sudah gelap. Ternyata, purnama sedang menguasai angkasa.

Aku bangkit, sudah cukup melepas penat dengan satu cup kopi hitam. Senja telah pergi, dan kamu sudah tidak bisa merebut atensiku. Bahkan kepergianmu dari meja bundar itu, tidak lebih menarik dari langit gelap sehitam jelaga.

Tapi aku salah. Kita bertemu kembali. Hanya terpaut jarak satu meter, di halte bus yang sama. Iya, aku salah kalau hanya ketika senja atensiku beralih pada kamu. Nyatanya, ketika purnama bersinarpun, aku masih menyimpan atensi itu padamu.

Kamu merotasikan kepala, detik itu juga mata kita bertemu. Aku tersenyum untuk menutupi rasa canggung, karena ketahuan menatapmu terlalu lama. Maaf, kalau ternyata mengganggu.

Tapi justru kamu mengeluarkan selembar kertas yang baru saja disobek dari note kecil milikmu. Menuliskan beberapa kata sejenak, dan mengulurkannya padaku.

Apa ini? Kertas dan... kalimat?

"Menunggu bus rute 12-14 juga?"

Kenapa tidak bertanya langsung?

Aku menatapmu, belum memberikan jawaban yang kamu inginkan. Tapi seolah mengerti tatapanku, kamu tersenyum. Kembali menulis beberapa kata dan menyerahkan kertasnya padaku.

"Aku bisu. Aku akan menulis jika ingin mengucapkan sesuatu"

Oh. Sekarang aku paham. Darimana ketertarikan itu, yang menjadi pusat atensiku. Iya, betul. Bukan karena sebuah bentuk kebisingan yang merebut perhatian. Namun karena ketenagan yang mengundang perhatian.

Ketenagannmu bukan melalui suara, namun melalui pandangan. Dan senyuman.

Kamu yang tenang, adalah atensiku.

Aku tersenyum kemudian. Membuka suara dan memberi jawaban yang kamu inginkan. Saling melempar pertanyaan, dan beberapa obrolan untuk membunuh waktu menunggu kedatangan bus.

Tentu saja obrolan yang terasa berbeda dan menyenangkan untukku. Karena kita melakukannya dengan cara kita masing masing. Aku yang bersuara, dan kamu dengan selembar kertas.

Sepanjang malam di halte itu, banyak yang kita bicarakan. Bahkan tentang nama. Sekarang, aku mengenalmu.



Laki laki bisu yang merebut atensiku. Namanya Regan.

 Namanya Regan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.








_kkeut_

Selamat datang di work pertama saya. Semoga suka dan menikmati^^

Kalian bisa langsung vote kalau suka cerita saya. Kalau pengen kasih pujian, saran, bahkan hujatan, bisa langsung komen. Wattpad sudah kasih fitur untuk vote dan komen, sokin lah^^ hehe

Tentang Dia | h. RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang