"Terjatuh bukanlah kosa kata yang menyenangkan. Bahkan dalam urusan perasaan. Aku tidak ingin terjatuh lagi. Aku bukan hujan."
- [ b u k a n ] HUJAN
Short story
• Random tentang Renjun
• Word bisa kurang dari 500
Enjoy guys!!
Kamu bukan untuk dilupakan. Kamu terlalu indah untuk tidak menyimpan kenangan. . . . . . .
Sudah sewindu, dan senja kembali membawa memori tentang kamu. Tentang kita yang dulu.
Sewindu yang lalu, dengan motor vespa andalanmu, dan helmet bogo kesukaanmu. Dibawah langit kemerahan, sepulang sekolah menengah atas kamu dengan energi seolah tak pernah menguap membawaku mengelilingi Bandung. Mampir sebentar di kedai pinggir jalanan yang tak begitu ramai, menikmati panekuk sore yang dihidangkan dengan lelehan madu.
"Tambah es kopi satu ya bang!," acungan jempol abang pelayan sudah membuatmu menutup mulut.
"Kok satu doang?,"
Secangkir teh lemon hangat kamu sodorkan begitu saja ke arahku.
"Baru sembuh, jangan kebanyakan es," katamu dengan gelengan kepala sebagai isyarat.
"Dikit doang kok," agaknya aku sedikit merajuk demi segelas es kopi. Tapi kamu justru mencubit pipiku main main.
"Bandel banget sih anaknya bu Wanda,"
"Sakit!, ih.."
Kamu tertawa kencang. Melihatku menukikkan alis dalam dalam justru membuatmu tertawa lepas.
Dulu, kamu memang tidak begitu romantis. Bisa dibilang jarang intesitas kamu berlaku manis. Namun tetap saja. Aku selalu rindu, apapun itu tentang kamu. Tentang kita yang dulu.
"Masih ada bimbel gak?," di lahan parkir sekolah yang masih terlihat ramai, kamu menyerahkan helmet bogo coklat ke arahku.
Hanya gelengan yang kamu terima.
"Anterin ziarah ke makam ayah, boleh?,"
Dengan senyum yang entah mengapa merekah tipis, aku mengangguk pelan.
Aku tahu, sebentar lagi, sepanjang perjalanan pulang dari makam, pundakmu akan bergetar. Kamu menangis, seiring jarak semakin jauh memisahkanmu dengan makam ayahmu.
Dulu, walau tidak banyak hal manis yang sempat terukir. Namun caramu membagi duka dan tawa, sudah cukup menoreh kenangan. Begitu dalam. Hingga urusan rindu ini terlalu sulit aku atasi sendiri.
Hingga hari itu tiba. Ketika jembatan layang yang penuh pejalan kaki menjadi saksi bisu hubungan kita berakhir. Di bawah senja yang sedikit kelabu, kamu berucap seolah tidak ada frasa lain yang dapat membawa kabar baik.
"Maaf, aku ga bisa nerusin hubungan ini,"
Kenapa?
Pertanyaan itu teredam hiruk pikuk pejalan kaki. Hanya mimik yang mampu mengutarakan.
"Kita begini begini aja dari jaman SMA, aku ga bisa bawa hubungan ini ke jenjang selanjutnya, aku ga mampu,
Lagian, aku bakal kuliah di Jerman, hasil bidik misi. Aku bakal ninggalin kamu di Indonesia dong,"
Kamu sempat tertawa di tengah suasana kelabu.
"Aku cuma ga mau aja, biarin kamu nungguin aku yang sendirinya gak tau kepastiannya gimana,"
Aku terdiam. Memang benar yang kamu ucapkan. Hubungan yang tak jua menunjukkan perkembangan, dan kepastian yang enggan memberi jawaban. Mungkin saatnya aku menerima sesuatu yang lain. Menerima sebuah perpisahan.
"Kamu pantas mendapat yang lebih baik,"
Yang aku rasakan terakhir kali, sebuah pelukan perpisahan. Hangat, namun membekas.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Arjun, mungkin lebih nyaman jika aku panggil alumni. Karena siapa tahu bisa reuni kembali.