Pencitraan

10.9K 866 93
                                    



***
.
Athar tiba di parkiran rumah sakit. Ia turun dari mobilnya dengan tergesa-gesa menuju ruang ICU. Dokter sudah menunggunya di depan pintu.

Ia mengatur napasnya saat berhenti tepat di depan dokter. 

"Huft,  bagaimana keadaan istri saya, Dok?" tanya Athar cemas dan penuh harap.

"Mari kita bicarakan di ruangan saya, Pak Athar." Dokter itu melangkah ke arah ruangannya,  Athar mengekor.

Sesampainya,  mereka duduk saling berhadapan.  Athar sudah siap mendengarkan penjelasan dokter tentang kondisi istrinya.

"Pak Athar,  dua jam yang lalu istri bapak menarik napas panjang saat petugas kebersihan masuk ke ruangannya. Lalu suster segera mengambil tindakan. Dan tiba-tiba dia kembali tak sadarkan diri. Kami membawanya ke ruang ICU. Berharap ada perubahan. Namun,  sayangnya.... " Dokter itu menggeleng.

Dada Athar terasa sesak, tak sanggup jika ia harus mendengar penjelasan dokter selanjutnya. Ia belum siap kehilangan istri tercinta.

Tok tok tok.

"Masuk!"

"Maaf,  Dok. Ibu Syahila,  detak jantungnya kembali normal." Seorang suster yang baru saja masuk mengabarkan kondisi Syahila.

Kedua bola mata Athar membulat,  ia dan dokter langsung keluar menuju ruangan di mana Syahila terbaring lemah di sana.

Athar memeluk erat sang istri, kedua mata Syahila sedikit terbuka. Tetesan air bening keluar perlahan dari ujung matanya.

Athar mengecup tangan sang istri berkali-kali. Penantian panjangnya selama ini membuahkan hasil,  mungkinkah Syahila akan sadar kembali.

"Sayang,  ini aku. Kamu masih ingat aku kan?" dengan suara serak menahan tangis Athar mencoba berbicara pada istrinya.

"Ini mukzizat, Pak Athar. Apa yang terjadi dengan ibu Syahila perbandingannya satu banding seratus. Amat sangat jarang, pasien yang sudah ka berbulan-bulan bisa sadar kembali. Pasti Pak Athar selalu mendoakan sang istri," ucap dokter seraya tersenyum.

Athar terdiam, ia bahkan tak pernah berdoa khusus untuk kesembuhan istrinya. Hanya sekedar sholat, dan berdoa sebentar. Mungkinkah ini memang mukzizat dari Allah.

"Nanti kita pindahkan lagi Ibu Syahila ke ruang perawatan. Saya permisi dulu ya,  Pak Athar." Dokter dan seorang perawat tadi keluar setelah mengecek kondisi Syahila dan menyatakan kalau semuanya baik-baik saja.

Syahila memang dinyatakan baik,  detak jantung semuanya normal. Hanya saja ia harus kehilangan kaki kirinya. Kalau pun ia sadar, ia tak bisa jalan, dan mungkin akan dibantu oleh tongkat atau kursi roda.

Jemari Syahila mulai bergerak, menyentuh tangan suaminya yang sejak tadi menggenggamnya. 

"Sayang,  akhirnya kamu sadar juga. Aku bahagia,  Sayang. Aku merindukanmu." Athar mengecup kening istrinya lembut.

Bibir pucat itu bergerak-gerak, seperti hendak mengatakan sesuatu. Namun,  tak ada sepatah kata pun yang mampu terucap.

"Kamu mau apa,  Sayang? Aku selalu ada di sini untukmu."

Bibir pucat itu tertarik ke samping. Matanya yang sayu berkedip sesaat. Menangkap ucapan suaminya barusan. Tak ada yang ia rasakan saat ini kecuali ingin segera pulih dan bisa berkumpul kembali dengan keluarganya.

Selama enam bulan koma,  keluarga Syahila di kampung hanya menjenguk dua kali. Karena mereka tak memiliki cukup ongkos untuk sering-sering menengok. Mereka memasrahkan segala urusannya pada Athar dan keluarganya.

PETAKA DUA ISTRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang