PURA-PURA

8.5K 831 64
                                    


🌼🌼🌼

Hilda masih berdiri di dekat jendela. Menantunya yang tadi pamit keluar belum juga kembali. Ia pun berjalan menuju kursi plastik yang berada tak jauh dari ranjang putranya.

"Mah,  kalau Syahila sudah diperbolehkan pulang, gimana?" tanya Athar penuh harap.

Ia berharap mamanya masih mau menerima sang istri di rumahnya.

"Terserah kamu, yang penting Thifa juga tetap tinggal di rumah."

"Bagaimana bisa, Mah? Kalau Syahila tahu aku menikah lagi, dia pasti akan marah."

"Itu urusan kamu. Mengaku saja kalau susah, kalau dia tidak terima, ya kita tinggal pulangkan dia ke rumah orang tuanya."

"Nggak semudah itu, Mah."

"Lalu bagaimana aku bicara pada Thifa, gimana kalau keluarganya tahu?" Athar mengacak rambutnya pusing.

"Makanya,  kamu cari aman saja. Nggak usah mikirin Syahila lagi. Asingkan dia. Lalu kamu hidup bahagia bersama Thifa."

"Nggak, Mah!  Athar nggak mau."

Ceklek.

Tiba-tiba pintu terbuka, sesosok wanita berjilbab tersenyum ke arah Hilda. Lalu berjalan menghampirinya.

"Maaf, Mah. Lama ya? Tadi aku ke mushola dulu," ucapnya dengan suara sedikit serak.

"Iya,  nggak apa-apa. Kamu tolong jagain Athar ya, gantian. Mama juga mau sholat dulu."

Hilda mengusap lembut tangan menantunya, Athar yang melihat langsung membuang muka, ia menarik selimut sampai ke dada dan mencoba memejamkan mata.

Hilda akhirnya keluar ruangan. Kini Thifa masih berdiri tak jauh dari ranjang Athar. Ia merasa canggung, terlebih setelah mendengar semua obrolan mereka tadi. Ingin rasanya ia pergi dan pulang saat itu juga, tapi apa kata orang tuanya nanti.

Angin malam berembus, membuat tirai di samping ranjang bergoyang. Kaca jendela di sebelahnya belum ditutup. Ia pun berjalan ke arah jendela, menutup dan menguncinya lalu menarik tirainya. Kata orang waktu magrib harus menutup semua pintu dan jendela.

"Mas," panggilnya lirih.

"Hem," jawab Athar malas, tanpa menoleh ataupun membuka matanya.

"Magrib-magrib jangan tidur."

"Kenapa?"

"Nanti jenazahnya berat."

Athar langsung membuka mata dan bangkit duduk mendengar ucapan Thifa barusan. Ia menatap tajam ke arah istrinya yang menunduk.

"Maaf, kalau ucapan aku salah."

"Loe nyumpahin gue mati?"

"Nggak, Mas. Nggak. Emang Mas udah sholat magrib?" tanya Thifa hati-hati.

"Nanti kan bisa dijamak. Gue kan lagi sakit," jawab Athar ketus.

Thifa menghela napas pelan. Sabar, sabar. Ia berusaha menguatkan diri sendiri dengan perlakuan sang suami.

"Mas mau apa? Minum atau apa? Biar aku ambilin." Thifa mencoba menawarkan apa yang diinginkan suaminya.

"Nggak usah sok baik deh loe, dan nggak usah cari muka juga di depan Mamah."

Thifa terdiam lama. Hampir sepuluh menit mereka tak berbicara. Ia Menahan rasa sesak di dadanya. Ingin sekali ia bicara, kalau ia sudah mengetahui semuanya, dan meminta Athar untuk menceraikannya. Namun, hatinya yang lain berkata untuk tetap bertahan. Karena sang mertua masih membutuhkannya.

PETAKA DUA ISTRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang