Di balik langit abu-abu, aku berusaha menjadi seseorang yang terlihat baik-baik saja. Di antara burung-burung berterbangan, aku berusaha tersenyum menikmati luka. Di antara tawa-tawa bahagia, aku berusaha mengikuti tawa mereka. Di antara bunga-bunga bermekaran, aku berusaha indah tanpa darah.
Hingga pada akhirnya, aku sadar bahwa aku hanya manusia biasa. Yang tak selalu sanggup menutupi setiap luka. Namun, sendiri adalah waktu yang tepat untuk menikmatinya. Ya, menikmati luka. Setelah itu aku mencoba untuk membenahi luka menjadi bahagia, perlu waktu memang.
Di atas menara paling tinggi di sebuah bangunan tak berpenghuni, di sanalah aku berdiri. Menyandarkan tubuh ini pada dinding dingin berlumut kusam, menengadahkan seluruh asa dan jiwa pada langit senja. Tetes itu jatuh pada pakaian yang penuh luka, dihiasi sayatan-sayatan pengharapan manusia. Pedih, tangisku lirih.
Kini, aku senang menyendiri. Aku senang menikmati sayatan-sayatan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Tak Bersuara
Teen FictionLuka ini tak dapat bersuara, hanya dapat ku tuliskan melalui ribuan aksara.