Ramahnya mentari, baiknya bumi, sejuknya angin pagi, masih belum mampu menyadarkan diri ini yang senang sekali berharap pada manusia. Iya aku, manusia yang sudah mengetahui sumber kecewa tetapi masih saja menganggapnya istimewa. Iya aku, manusia yang selalu minta diobati padahal obatnya adalah diri sendiri. Iya aku, manusia yang tak pernah berhenti menyalahkan diri sendiri karena selalu kembali masuk ke jurang yang sama berulang kali.
Pernah menjadi manusia paling bahagia karena mu, namun tidak jarang menjadi manusia paling menyedihkan karena mu juga. Sesedih itu menjadi aku, terlalu menunda ekspetasi terlalu tinggi padahal tidak tahu sekenario Sang Pencipta seperti apa. Ini teguran namanya, bukan ketidakadilan.
Malam selalu jadi waktu paling menyenangkan untuk mengevaluasi berbagai ambisi, segala amunisi, dan kehendak yang dibuat sendiri. Malam selalu punya caranya sendiri untuk menyampaikan ribuan pesan dari banyaknya kesalahan. Katanya, Sang Pencipta tidak suka ketika aku terlalu berlebih dalam menaruh harapan pada manusia. Itu sama saja dengan sakit hati yang dicari-cari sendiri.
Kini, usaha dan semoga yang akan ku jalani. Berusaha untuk tidak berlebih dalam menaruh harapan pada manusia, dan semoga semua lekas baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Tak Bersuara
Teen FictionLuka ini tak dapat bersuara, hanya dapat ku tuliskan melalui ribuan aksara.