3. PERGI - Bukan Benang Merahku

28 4 0
                                    

Pernah terpikir olehku, ketika aku duduk di kursi tengah rumahku dengan wajah menunduk, menyembunyikan senyum yang kian  merekah. Dan duduk di sampingku seorang ibu. Ayahku duduk di seberang meja, duduk di samping tamu yang selama ini kutunggu. Akhirnya kamu datang. Aku telah lama menunggumu untuk datang kesini dan mengucapkan kalimat indah itu.
“Jadi, apa alasan kamu datang kesini?” suara tegas muncul dari mulut ayahku, hatiku bergetar kala aku mendengarnya. Walau ucapan itu bukan tertuju padaku, tapi tetap saja aku tak bisa menahan degup jantung yang mulai tak bersahabat.
“Maksud kedatangan saya dan anak saya adalah melamar anak anda, Pak.” Seketika ayahku menoleh padaku, sontak aku mengangkat kepalaku. Entah rasa tak percaya atau rasa bahagia yang menggelora di hatiku, tapi bukankah ini benar-benar seperti mimpi? Aku tak bisa menahan gelembung yang mulai membesar di hatiku, rasa-rasanya gelembung itu akan meledak sebentar lagi.
“Sebenarnya, saya sudah menyukai anak bapak kira-kira sejak setengah tahun yang lalu. Saat itu saya tidak sengaja mendengar suara anak bapak saat mengaji di TPA samping rumah saya.
“Awalnya saya biasa saja saat mendengarnya, tapi ada kejadian yang membuat hati saya tercabik-cabik kala itu, saya tidak sengaja menyentuh tangan anak bapak.”
“ Ingin rasanya saya minta maaf secara langsung saat itu, tapi anak bapak lari. Jadi, semenjak itu saya menjadi sering memikirkan tentang kata maaf yang tertinggal itu, jujur saja saya terganggu dengan perasaan saya ini. Saya takut, bila memikirkan perempuan bukan muhrim adalah tidak halal, jadi lebih baik langsung saja saya lamar kesini.”
Ucapan Zhidan bergema di telingaku, ‘kira-kira saya suka anak bapak semenjak setengah tahun yang lalu' jadi sudah selama itu Zhidan menyimpan rasanya terhadapku? Dan bahkan, aku sama sekali tak menyadarinya. Pandai sekali dia menjaga perasaannya. Lagi-lagi perasaanku dibuat berdebar olehnya, bagaimana ini? Apa aku harus menerimanya?
“Jadi, bagaimana, Nak?” aku menoleh ke arah lelaki jangkung yang duduk berseberangan denganku. Kupandangi wajahnya sekilas, lalu kulontarkan senyuman kikuk tak bermakna, ini karena kegugupan yang kian menggunung, lalu bagaimanana aku harus bertindak? Perlahan kucubit tanganku dengan kuku.

AWW, SAKIT...
Farida menoleh, “kenapa, Na?” aku menoleh ke arah Farida balik, lalu segera bangkit dari meja.
“Aku ketiduran, ya?” ucapku tanpa rasa bersalah dan rasa takut sedikitpun. Jarang ada murid yang berani tidur pada jam mata pelajaran matematika. Tapi, entah kenapa mimpi tadi terasa begitu hebat hingga aku begitu malas untuk bangun lagi. Begitu sayang untuk dipause
Sejenak aku menoleh ke arah 2 meja di depanku. Di sana duduk lelaki jangkung yang sedari dulu sangat kukagumi, Zhidan. Mungkin memang benar dia idola para wanita, tapi tak bisakah aku untuk menjadi milik Zhidan sepenuhnya? Terkadang bermimpi itu indah bila kenyataan begitu pahit untuk dirasakan. Jadi, aku lebih suka bermimpi daripada menghadapi kenyataan.
“Jangan tidur lagi,” terdengar suara dari arah belakang, suara yang tak asing. Lebih tepatnya suara yang selalu menganggu kejernihan pikiranku, Angga. Mirip dengan namanya, Angga adalah serAngga yang selalu hinggap di hidupku, lalu membuat sarang di sana tanpa merasa bersalah.
“Kamu siapa mengatur-atur tidur saya!” ucapku sok formal. Angga mengangkat sebelah alisnya, “lah, siapa kamu berani-beraninya tidur di jam matematika.”
Tak terelakkan lagi bila Angga memang jago matematika, bahkan ia lolos OSN matematika tingkat kota, jadi tak heran bila dia berkata seperti itu. Aku yang jago geografi selalu bertengkar dengan sang ahli matematika ini, entah darimana ceritanya akhirnya muncul gosip bahwa aku dan dia berpacaran. Padahal itu sama sekali tidak benar, memang benar aku tidak pernah dekat dengan lelaki manapun, hanya Angga yang tiba-tiba mendekat dan akhirnya akrab denganku.
“Udah, ga usah peduliin aku. Sana, hush, hush. Aku mau bobok cantik lagi dulu,” dengan percaya diri aku menidurkan kepalaku di atas meja. Tiba-tiba sebuah tangan menepuk-nepuk pundakku, firasatku jadi buruk. Hawa menyeramkan ini, tidak salah lagi, ini pasti...
“Mau bobok cantik? Sana bobok di salon. Sekarang keluar dari kelas, kamu belajar di luar,” rasanya menyesal sekali aku hari ini, sudah tidur terganggu, sekarang disuruh keluar. Kalau diluar kan aku jadi tidak bisa tidur. Ah, aku sebal sekali. Kenapa harus seperti ini? Dan lagi, tadi aku juga tidak mencatat karena tidur, bagaimana aku mengerjakan?
“Nih, catatanku."
Sebuah tangan tiba-tiba terulur di depanku. Lengkap dengan sebuah buku bergambar motor balap. Sampul buku ini, aku tak pernah lupa siapa pemilik sampul buku ini. Di sana juga tercetak rapi sebuah nama, Zhidan Fauzi Fahrazy.
“Lho, kenapa dikasih aku?” ucapku kikuk sambil memalingkan pandangan.
“Aku nyatet buat dua orang kok. Satunya buat kamu aja,” bagaimana tidak baper? Zhidan adalah laki-laki idaman para wanita dan sekarang dia membuatkan catatan untukku karena tau aku tadi tertidur. Entah aku harus senang atau bagaimana, tapi pemberian ini akan terasa berharga untukku.
“Oiya. Nanti kalau udah selesai tolong dikembalikan, ya?” ucapnya sambil menggaruk-garuk tenguknya yang tidak gatal.
“Lho? Aku kira buat aku, jadi buat siapa? Rani, ya? Dia kan ga masuk,” ucapku sambil tetap memalingkan wajahku. Mungkin senyum yang tadinya sudah merekah kini sudah surut, seharusnya emang aku ga baper secepat itu. Tapi perempuan mana sih yang ga pernah rasain baper? Apa baper itu haram buat dirasakan karena mengandung banyak mudharat?
“Enggak. Siapa bilang buat dia? Ini buat Eko, dia kan juga ga masuk. Kamu lupa, ya?” oh tuhan, kenapa aku bisa sebuta ini? Malah aku jadi kelihatan kayak orang cemburu. Harga diriku jatuh seketika, aku harus gimana?
“Yaudah, aku balik kelas dulu, jangan lupa nanti dikembaliin. Selamat mengerjakan, ahli geografi,” mungkin sekarang wajahku sudah bersemu merah. Tapi aku tidak boleh gegabah. Zhidan masih bukan siapa-siapaku dan aku bukan siapa-siapa Zhidan.
Di pertengahan hari ini, rasa-rasanya aku selalu teringat ucapan ibu di rumah. Katanya, mencintai karena Allah itu rasanya sangat indah. Tapi ibuku juga sempat berkata, bahwa tidak akan ada yang namanya cinta karena Allah sebelum adanya akad atau perjanjian. Jadi, selama aku bisa menahan perasaanku, akan terus kutahan. Tapi aku masih terus bingung oleh perasaan ini. Di satu pihak aku mengagumi sosok Zhidan, dia selalu terlihat berkharisma. Aku menyukainya karena dulu ia pernah mengajariku mengaji, bila boleh jujur aku suka dengan suaranya. Begitu merdu dan dapat mengoyak hati. Tapi, di lain hati aku juga tidak bisa membohongi hatiku untuk tidak menyukai si ahli matematika, Angga. Dia anak yang seru, entah kenapa aku menjadi mudah sekali bergaul dengannya. Di saat tak ada laki-laki yang berani mendekatiku karena memang aku yang tak mau didekati, tapi sosok Angga tiba-tiba datang dalam bentuk yang lain. Dia datang sebagai bayangan yang selalu datang saat aku kesepian.
Sampai akhirnya mimpiku saat pelajaran matematika waktu itu benar-benar terjadi. Pintu rumahku diketuk oleh seseorang, dalam batin aku selalu menyebut nama Zhidan dan Angga. Aku tak pernah melupakan sholat istikhorohku untuk segera mendengar nama siapa yang saat ini berdampingan dengan namaku di lauhul mahfudz.
Hingga saat sebuah langkah kaki terdengar, muncul sosok lelaki dengan wajah bulat, kulit putih dan lesung pipi yang indah dari balik pintu, ia tersenyum padaku. Tatapannya dan tatapanku terkunci. Aku berdiri memaku memandangi sosok yang berdiri di depan pintu dengan ayah dan ibunya di belakang tubuh jangkungnya.
“Tamunya disuruh masuk, Nak!" ucap ibuku dari arah dapur, mungkin ia sedang mempersiapkan teh untuk tamu kali ini. Tamu yang tak pernah aku duga akan datang sebelumnya.
“Eh, i ... iya bu,” tanpa sadar aku langsung menunduk dan berjalan mundur secara perlahan, “maaf, malah membuat anda menunggu di luar. Si ... silahkan masuk dan duduk dulu. Saya ... saya akan panggilkan ibu sama bapak,” tanpa aba-aba aku langsung lari ke arah dapur lalu memeluk ibuku dari belakang. Tanpa diduga air mataku mengalir, aku tak tahu perasaan apa yang tiba-tiba muncul di hatiku ini. Begitu aneh dan asing, aku bahkan tak merasa senang tapi aku juga tak merasa sedih.
Ibu langsung balas memelukku erat. Rasanya hangat, mungkin setelah menikah aku tidak akan mendapati perasaan hangat ini lagi. Kenapa aku jadi terharu seperti ini, kenapa air mata ini tak mau berhenti keluar. Aku bahkan tak tau kenapa aku menangis. Bukan, bukan karena sedih. Ini, ini hanya sebuah perasaan yang asing. Tidak, ini semua tentang harapan. Harapan yang mulai gugur.
“Jadi, apa alasan kamu datang kesini?” suara tegas muncul dari mulut ayahku, hatiku bergetar kala aku mendengarnya. Walau ucapan itu bukan tertuju padaku, tapi tetap saja aku tak bisa menahan degup jantung yang mulai tak bersahabat.
“Maksud kedatangan saya dan anak saya adalah melamar anak anda, Pak.” Seketika ayahku menoleh padaku, sontak aku mengangkat kepalaku. Seketika pula batinku ingin menangis mendengarnya. Serasa air mataku ingin pecah saat itu juga, kemana mimpi indah yang selalu aku dapatkan setiap tidur? Kenapa mereka pergi?
“Sebenarnya, saya sudah menyukai anak bapak kira-kira sejak dua tahun yang lalu. Saat itu saya tidak sengaja mendengar suara anak bapak saat mengaji di pengajian samping rumah saya.
“Awalnya saya biasa saja saat mendengarnya, tapi ada kejadian yang membuat hati saya tercabik-cabik kala itu, saya tidak sengaja menyentuh tangan anak bapak.”
“ Ingin rasanya saya minta maaf secara langsung saat itu, tapi anak bapak lari. Jadi, semenjak itu saya menjadi sering memikirkan tentang kata maaf yang tertinggal itu, jujur saja saya terganggu dengan perasaan saya ini. Saya takut, bila memikirkan perempuan bukan muhrim adalah tidak halal, jadi lebih baik langsung saja saya lamar kesini.”
Kenapa harus begini? Aku tidak tau lagi harus bagaimana. Harus berbuat apa? Zhidan, guru ngajiku. Kau dimana? Angga, ahli matematikaku, kenapa kau tidak datang? Kenapa, kenapa, berani-beraninya aku menaruh harapan pada kalian!
“Jadi, bagaimana, Nak? Apa kamu menerima lamaran mas Faried?”
Maaf, tapi ibuku pernah berkata, “tak akan ada yang namanya cinta karena Allah di luar akad nikah, Naily.”
Baiklah, aku sudah membuat keputusan.
“Aku me ....”
TOK TOK TOK
Lagi-lagi pintu rumahku diketuk. Siapa kira-kira di luar? Kenapa pada waktu-waktu seperti ini tiba-tiba datang? Dengan langkah pasti aku berjalan ke arah pintu lalu membuka pintu. Rasanya seperti deja vu saat melihat apa yang ada di luar.
“Zhidan? Ada apa?” bukan harapan tentang lamaran lagi yang kuingin dari sosok Zhidan, tapi agar Zhidan segera pergi dari sini. Secepatnya, aku mohon.
“Oh, Naily? Ada acara apa nih?” aku menoleh ke arah tamu yang ada di dalam, terutama ibuku. Sepertinya dia tau apa yang aku pikirkan, ibuku tersenyum lalu mengangguk. Aku kembali menoleh ke arah Zhidan.
“Masuk dulu aja,” aku mempersilahkan Zhidan masuk dan duduk. Lalu  Zhidan pun duduk tepat di samping Faried, laki-laki yang melamarku. Aku semakin menunduk tak bisa menahan gemuruh di dada yang kian mengerikan terasa. Entah kenapa dadaku sesak.
“Oh iya, alasan saya datang kesini mau memberi ini pada Naily, saya dapat titipan buat kamu, Na,” mendengarnya aku lantas mendongak. Jadi, bukan apa-apa kan? Lagipula aku sudah ada yang melamar. Jadi sebisa mungkin perasaanku pada Zhidan harus segera aku gugurkan. Aku hanya akan menunggu cinta yang benar-benar karena Allah datang menjemputku.
“Oh, ya. Makasih. Ini apa?” tanyaku singkat dan agak kaku. Bukan karena apa-apa, bagaimana tidak? Orang yang kamu suka duduk berdampingan dengan orang yang akan melamar kamu, betapa tidak meledak hatiku ini.
“Itu undangan pernikahan Angga,” singkat, padat dan jelas. Tapi, entah kenapa tak bisa kumengerti. Jadi, harapanku mulai gugur satu-persatu? Ibu tau tentang perasaanku pada sosok Angga dan Zhidan, saat aku melihat ibu dia hanya tersenyum dan mengangguk, seakan-akan dia berkata, ‘ibu percaya padamu, Naily'
“Oh. Makasih, ya.”
Di tengah suasana yang canggung tiba-tiba ayahku memecah suasana, entah ayah tau apa yang aku pikirkan atau tidak, tapi aku tetap tak tahu harus bertindak bagaimana. Ayahku berkata, “ada urusan lain, Nak Zhidan?”
Zhidan terdiam sebentar lalu tersenyum padaku. Oh, tuhan, kenapa harus tersenyum? Aku benci suasana ini. Aku tak ingin menanam kembali benih yang sudah susah payah ku tebang batangnya.
“Saya mau melamar anak bapak,” ah, aku lupa. Zhidan kesini tidak sendirian. Entah harus bahagia atau merasa tidak percaya. Rasanya ingin aku menangis di pelukan ibu dan meminta ibu untuk menghentikan semua ini. Sejenak aku berharap ini semua adalah mimpi. Iya, mimpi. Aku pasti sedang tertidur.
Coba kucubit tanganku. Dan, sakit. Ini nyata, aku tidak tidur. Semua lamaran ini nyata, tapi aku harus bgaimana? Di tengah suasana seperti ini tiba-tiba sebuah kalimat menyelesaikan segalanya.
“Saya mau melamar Dek Mufti, adiknya Naily,” akhirnya, setelah mendengar Zhidan mengatakan itu mungkin aku bisa bernapas lega. Aku jadi tahu apa yang harus aku perbuat. Aku mulai bisa bernapas lega dan menahan air mata yang hampir keluar dari tempatnya.
“Wah, kok bisa barengan gini, ya. Yaudah, kita selesaikan dulu lamarannya Nak Naily dengan Nak Faried dahulu.”
Aku menatap ibuku sambil tersenyum. Akhirnya aku bisa memutuskan dengan keputusan yang benar-benar aku inginkan. Aku berharap aku tak pernah salah dalam mengambil keputusan ini.
“Baik. Jadi, saya terima lamaran dari mas Faried kepada saya, saya bersedia."
Entah duka atau bahagia perasaan yang kini aku rasakan. Ingin rasanya aku menjerit sekarang juga untuk melampiaskan rasa. Terima kasih ya Allah, Kau telah memberiku jalan dengan tanpa rasa kecewa aku menerima semua ini.
Di tengah-tengah suasana haru biru itu Faried dan keluarganya ijin pulang. Lalu giliran Zhidan yang mengatakan maksudnya datang ke rumah, melamar adikku. Saat itu aku ijin ke kamar duluan, ada sesuatu yang harus aku urus. Aku terbiasa menandai jadwal di kamar agar aku tidak terlupa jadwalku di hari itu, ku buka plastik pembungkus kartu undangan dari Angga tiba-tiba sebuah kertas jatuh. Tidak, ada dua kertas di sana. Dan sepertinya dari dua orang yang berbeda.
Aku baru menyadari bahwa dua kertas itu dari orang yang begitu ku cinta selama ini. Air mataku tak terbendung dan mulai jatuh membasahi kertas yang bertuliskan...
Assalamu’alaikum
Hai, Naily.
Ini surat dari kami, guru ngajimu alias Zhidan dan ahli matematika alias Angga. Jujur, kami pernah sama-sama menyukaimu, di waktu yang sama dan di pada orang  yang sama. Tapi percayalah tak ada pertengakaran di antara kami hanya karena perasaan seperti itu, kami tetap sahabat sesurga selamanya.
Sejujurnya, kami telah mendengar tentang seorang kakak tingkat yang suka padamu. Mas Faried, kami dengar dia orang yang baik. Jadi gapapa kami percaya kamu pasti akan bahagia dengan dia.
Dan akhirnya, biarkan kami pergi ya, aku akan melamar seorang perempuan muallaf, Zainab namanya, btw ini tadi Angga. Dan Zhidan, niatnya ia ingin melamar adikmu, sebenarnya bukan atas dasar suka, yah memang benar adikmu pernah menyukai Zhidan tapi Zhidan pernah kok mengagumi akhlaq adikmu karena bisa sangat menjaga adab pada siapapun, menjaga hati juga pandai sekali, btw itu curcolnya Zhidan padaku. Tapi tetap saja dia menyukaimu, tapi tak apa semoga dia bisa jadi cinta pertama untuk adikmu, dan kamu cukup dengan mas Faried saja, aku percaya dia baik untukmu. Karena jodohmu adalah cerminan hidupmu.
Akhir kata terimakasih, ya sudah pernah menggoreskan pena kisah di hidup kami.
Selamat tinggal, kami akan pergi mencari cinta yang benar-benar cinta itu kami rasakan atas dasar cinta karena Allah. Seperti kata ibumu, ya kan?
Sekian ya, kami pergi. Selamat mencari cinta setelah menikah..
Salam kami, ahli matematika dan guru ngaji
Untukmu ahli geografi, terimakasih sudah memasukkan kami ke dalam dunia geografimu.
Wassalamu'alaikum
Setelah membaca surat itu aku terdiam sejenak, lalu tersenyum. Setidaknya keputusanku benar-benar sudah bulat untuk menerima lamaran dari mas Faried. Aku harap keputusanku sudah benar dan tidak mengecewakan. Semoga tidak ada yang kecewa di sini. Itulah harapanku sebelum menikah. Hingga akhirnya kini aku telah menjadi istri seorang Faried, aku bahagia. Aku percaya bahwa Allah ada untuk terus menjagaku. Dan aku percaya, keputusanku saat itu sudah benar. Kini tinggal waktuku menjemput surga bersama sang kekasih.

-END-

Nama: Ghaida Salwa
Akun wattpad: Ghaida_salwa03

Kumpulan Cerpen [Mem Wattpad Literation]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang