Naruto melepas apron miliknya sesaat setelah menyelesaikan urusannya. Pemuda itu kini hendak berjalan keluar dari kamar kecil. Berjalan seorang diri saat melihat sosok Sasuke yang lenyap ditelan muka temboknya, Naruto mencoba mengingat-ingat tata letak rumah tradisional itu.
Ia berniat untuk kembali ke dapur. Namun, saat jemarinya hendak memutar knop pintu, matanya tak sengaja menangkap jarum jam yang mengarah ke angka tujuh menggantung di dinding. Saking terkejutnya hingga ia memekik kaget, dan mematung di tempat. Hal yang ia lupakan adalah Kushina tidak ia beri kabar jika dirinya akan keluar sore ini. Walaupun sang ibu sedang jauh darinya, tapi tetap saja!
Naruto bisa gawat.
“Ada apa?”
Naruto mengalihkan perhatiannya saat mendengar bariton milik Sasuke. Dilihatnya pria itu datang dari arah dapur seraya menggenggam mug di tangannya.
“Aku lupa memberi kabar kaa-san!” Ujar Naruto memasang ekspresi seperti anak kecil yang ketahuan mencuri permen di kulkas. Dengan terburu-buru Naruto langsung merogoh ponselnya yang ia simpan pada saku celana. Namun, lagi-lagi pergerakannya terhenti. Wajahnya semakin pucat bak mayat hidup.
“Ponselku!? Dimana!?” Panik Naruto seraya terus meraba-raba seluruh kantungnya. Jujur, Sasuke merasa geli saat ini. Anak bawang yang satu ini memang penuh kejutan. Sifat pelupa misalnya.
Naruto kembali terdiam. Pikirannya berusaha fokus untuk mengingat semua kejadian yang ia alami sore ini. Berjalan, ke pusat kota, lalu stone cafe, dan mengobrol dengan wanita part-timer disana. Terakhir ia diseret ke mansion Uchiha, lalu membuat kue bersama Mikoto yang akhirnya wanita itu pergi karena pekerjaan memanggilnya setelah mereka berdua berfoto ria di dapur bersama hasil kuenya.
Oh, stone cafe.
“Gawat!” Seru Naruto. Namun, pandangannya langsung disapa oleh jemari yang mengarahkan sebuah benda pipih hitam yang sangat dikenalnya.
“Ya, memang gawat.” Ujar Sasuke tanpa emosi.
Lagi-lagi Naruto membelalakan matanya tak percaya. Sudut matanya sudah terlihat jika air matanya menitik.
“ASTAGA!” Kali ini dibalik tampang stoicnya Sasuke yang terkejut. Naruto langsung menyabet ponselnya dan memandangnya bak dewa yang diagung-agungkan.
Benar-benar bipolar.
“Kau meninggalkannya lagi di mobilku.”
Ada penekanan pada kalimatnya. Sasuke tidak bisa menahan untuk tidak merotasikan kedua bola matanya. Naruto yang melihatnya segera membungkukan tubuhnya.
“Terima kasih.”
Sasuke tak salah lihat dan dengar, bukan? Uzumaki Naruto, murid serampangan, preman sekolah, barbar, pembangkang, dan lain-lain. Kini bersikap sangat sangat hormat sekali pada dirinya. Sebuah perubahan positif. Clap, clap, clap.
“Otakmu harus sering dilatih.”
Namun, sebuah perubahan positif itu tidak lama saat mendapat omongan yang cukup pedas menembus tubuh Naruto. Pemuda itu menegakkan tubuhnya, memandang sengit pada Sasuke yang melihatnya angkuh. Dengan segera, Naruto membuang muka acuh. Sasuke mendengus pelan, lalu membalikkan tubuhnya kembali ke arah dapur.“Ayo, kita makan malam.” Sahut Sasuke tak ingin dibantah. Namun, bukan Naruto jika dirinya seorang penurut bak kucing peliharaan.
“Aku tidak lapar.” Responnya singkat dan padat. Lagipula, Naruto juga akan pulang mengingat ini sudah masuk jam makan malam. Ia bisa kena semprotan tak hanya dari Kushina, tapi Shion!
Grroakk
Lagi dan seterusnya, keadaan saat ini memang sedang tidak berpihak pada Naruto. Pemuda itu meringis pelan seraya menyentuh perutnya yang menghasilkan suara indah orang kelaparan. Sasuke yang tengah memasang apron pada tubuhnya menoleh seraya tersenyum remeh.
YOU ARE READING
Belenggu [Revisi]
Romance©Yukirin Shuu Status; Ongoing [SEDANG DALAM PROSES REVISI] Uzumaki Naruto, pemuda berandal yang mempunyai banyak sisi lain di dalam dirinya dan terbebani dengan guru pengganti sementara yang ternyata merupakan anak dari sahabat lama orang tua...