Hari ini Sesil kebingungan dengan tugas sekolah, Sesil dan kawan-kawannya diminta Ibu guru untuk maju ke depan kelas sembari menyanyikan lagu nasional minggu depan. Sebenarnya dia ingin latihan dan meminta tolong Ibu, tapi Sesil lihat Ibu sedang bercengkrama dengan kertas-kertas tebal, Ibu sedang sibuk, dan Sesil tidak boleh mengganggu. Bapak malah belum juga terlihat batang hidungnya,
"Ibu, Sesil mau ke taman, mau belajar nyanyi sama kawan,"
"Sebelum magrib sudah pulang ya,"
Sesil langsung berlarian menuju taman kompleksnya. Seingat Sesil, Evan bilang harmonika punya suara bagus, siapa tahu Sesil bisa belajar dari harmonika. Meskipun Sesil masih tidak tahu maksud "kapan-kapan" Evan waktu itu sebenarnya kapan. Sesil memutuskan untuk pergi ke taman saja, siapa tahu maksud "kapan-kapan" itu hari ini. Dia tak lupa membawa serta buku tulis tempat catatan lagu yang sudah dia hapalkan juga sebuah kotak pensil, dan dia memutuskan untuk membawa ransel kecil.
Sesampainya di taman, Sesil melihat taman sudah sangat ramai oleh anak-anak kompleksnya. Dia menyusuri taman dan tidak kunjung menemukan Evan. Dia cemberut dan memutuskan untuk duduk di atas rerumputan. Sesil pun berinisiatif ke arah pohon rindang tempat dia bertemu Evan pertama kali, tetapi nihil. Ketika dia berbalik dan berniat untuk menuju keramaian taman,
"Dor!" Evan mengejutkannya dengan tiruan suara pistol, Sesil kaget sekali, tetapi Evan malah tertawa-tawa.
"Ih Evan! Aku kira hantu!"
"Hahaha..."
"Kamu sering main ke taman ya?" Sesil bertanya.
"Iya, setiap sore biasanya aku sama Mama ke taman. Tuh Mama aku di sana," Evan menunjuk perempuan berdaster coklat yang sedang mengobrol dengan Ibu-ibu yang lain.
"Oooh..."
"Mama kamu emangnya gak suka ke taman?"
Ibu memang tidak suka keluar rumah dan mengobrol dengan tetangga. Ibu bilang mengobrol dengan para tetangga itu nggak baik karena membicarakan orang lain. Terakhir kali Sesil dengar, Ibu-ibu tetangga bilang kalau Bapak itu sudah jadi anggur, padahal setahu Sesil, anggur itu warnanya ungu dan bentuknya bulat, Bapak kan tidak begitu, jadi Ibu-ibu tetangga itu berkata yang tidak benar. Dan Ibu Sesil tidak suka, berarti Sesil juga tidak suka.
"Ibu lebih suka di rumah," Sesil menjawab dan hanya dibalas anggukan kecil oleh Evan.
"Itu kamu bawa apa?" Evan menunjuk ransel yang dibawa Sesil."Ini, aku mau minta ajarin harmonika kamu,"
"Ngajarin apa?"
"Nyanyi lagu nasional," jawab Sesil dengan senyum lebar.
"Boleh! Kita nyanyi ramai-ramai aja, biar seru!" Evan langsung mengambil harmonika dari kantung celananya dan berlari ke arah anak-anak kompleks.
"Temen-temen, kita nyanyi bareng yuk!" Sesil berteriak dan membuat anak-anak yang lain mendekatinya.
"Nyanyi apa?"
"Ayok!"
"Nyanyi! nyanyi!"
Sesil mengajak beberapa anak untuk bergabung, dia menghitung ada satu dua tiga empat, ah ada tujuh orang! Ditambah dirinya dan Evan. Sesil mulai membuka bukunya untuk membaca judul lagu yang sudah dia hapalkan di sekolah.
"Evan! Judulnya satu nusa satu bangsa!"
"Hmm, aku tau! Aku tau! Ayok nyanyi," Evan mulai meniup harmonikanya, sontak saja anak anak termasuk Ibu-ibu juga takjub melihatnya.
Satu nus-a
"Sil! Emang nyanyinya harus hormat ya? Kan nggak ada benderanya!" Sahut Johan melihat tangan Sesil yang sudah berada di dahi,
"Oh iya ya," Sesil langsung menurunkannya,
Saa-tu bang-sa
Satu ba-ha-sa kitaAnak-anak lain ada yang ikut bernyanyi, ada yang mangap-mangap menirukan yang bernyanyi, ada yang loncat kesana kemari, ada juga yang hanya melongo memandangi Evan. Sepertinya hanya Sesil seoranglah yang terlihat serius.
"Ih! Lagunya aku enggak suka! Lagunya yang keren dong!"
Sesil mengerutkan keningnya, "Emangnya lagu keren itu apa?"
"Itu yang ziggi zagaa..." terlihat Sultan menggoyangkan tubuhnya kesana-kemari, entah gerakan apa yang dia lakukan.
"Atau atau yang syalalala..." Putri ikut menambahkan, semua anak dibuat tertawa melihat aksi mereka, begitu juga Sesil, walau dia tidak tahu menahu mengenai lagu yang disebut keren itu.
"Itu kan lagunya ada di youtube, kamu enggak tau Sil?" Tanya Risma, salah satu anak yang ikut berkumpul,
"Enggak tau, aku taunya Ibu suka nonton di youtube, cuma nggak ngerti yang ditonton apa,"
"Hu! Padahal keren banget!" sahut Sultan padanya.
"Yaudah kita nyanyi lagi aja, sekarang nyanyi lagu garuda pancasila Van!" teriak Sesil pada Evan.
"Aku mau beli siomay aja deh! Dadah!"
"Aku juga mau!"
"Hmm, aku mau main perosotan!"
Satu persatu anak-anak yang berkerumun hilang, dan hanya menyisakan beberapa anak yang usianya dibawah Sesil dan Evan, yang tentunya cuma bisa menonton saja. Akhirnya Sesil dan Evan memutuskan untuk menyudahi acara nyanyi bersama itu dan memilih untuk duduk di bawah pohon saja,
"Yah, kok nggak ada yang suka ya? Padahal kata Ibu guru, kita dari kecil harus meng-hor-mati lagu nasional! Jadi kita harus hapalin."
Evan tertawa mendengar Sesil yang bicara dengan nada serius,
"Beneran tau Evan! Terus nyanyinya juga enggak boleh main-main! Kalo enggak nanti yang punya lagu nangis!"
Evan makin tertawa mendengarnya,
"Hu...Evan malah ketawa,"
Mata Evan tertarik untuk melihat isi buku tulis Sesil yang sedari tadi dia bawa,
"Kamu nulis apa di situ?"
"Aku nulis lagu yang udah aku hapalin di sini."
Evan mengambil buku Sesil dan membacanya, lalu dia mulai menuliskan sesuatu, setelah cukup lama menunggu tulisan Evan selesai,
"Ini apa Van?""Itu lagu nasional juga! Itu juga keren! Kamu hapalin juga ya!"
"Aku pulang dulu, Mama aku udah nungguin, dadah Sesil!"
"Dadah..." Sesil melambaikan tangannya pada Evan.
Sesil membaca judul lagu yang Evan buat dengan huruf kapital di buku tulisnya, di situ tertulis, INDONESIA PUSAKA.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Sedu Sang Embih
General FictionKalau rumah tempat semua orang didekap, dipeluk ramah. Kalau rumah berarti yang seperti itu, Sesil tidak pernah merasakan punya rumah yang sungguhan.