Satu

26 9 4
                                    

Hari ini Sesil tidak pergi ke sekolah. Karena hari ini hari minggu dan sekolah libur setiap hari minggu. Semenjak Ibu guru bilang sekolah diliburkan karena tanggal merah, Sesil selalu melingkari setiap tanggal merah yang ada di kalender, supaya dia ingat kalau tanggal merah, sekolah libur.

Sesil sedang berada di taman kompleks perumahannya. Anak perempuan berumur enam tahun itu masih berayun-ayun di atas ayunan taman. Keadaan taman sepi, setiap sore barulah taman itu dikerubungi oleh sekian banyak anak yang berebut permainan satu sama lain apalagi saat hari libur, keadaannya akan sangat ribut dan Sesil tidak akan bisa leluasa main ayunan.

Kalau hari minggu, Ibu tidak buru-buru memakai baju licin dengan warna atasan dan bawahan senada lalu pergi, yang Sesil tahu, Ibu bekerja. Ibu di hari minggu akan masak dari subuh, bersih-bersih rumah lalu memanggil Sesil untuk sarapan. Setelah itu Ibu akan berdiam diri di dalam kamarnya, entah memandangi layar laptop, atau tertawa-tawa sambil sibuk dengan ponselnya atau malah tertidur. Ibu jarang keluar rumah jika hari minggu tiba dan tidak suka kalau Sesil mengganggu, katanya Sesil reseh. Jadi, setelah sarapan Sesil memutuskan untuk pergi ke taman saja.

Sesil tidak punya kawan yang begitu dekat di kompleksnya, dia cuma punya dua orang sahabat perempuan di sekolah, itupun Sesil tidak tau rumah mereka dimana. Kalau di rumah juga Sesil tidak punya kawan, tapi ternyata di taman juga tidak ada siapa-siapa.

Sesil masih mengayun-ayunkan dirinya sendiri sampai tanpa Sesil sadari, ia sudah bersapa dengan hangat matahari, Sesil yakin hari sudah makin siang. Karena tidak menemukan siapapun, Sesil berniat untuk pulang. Tetapi, Sesil menyadari kehadiran seseorang, yang tidak tahu sudah ada di taman sejak kapan sedang terduduk di bawah pohon rindang.

Anak laki-laki itu terlihat sangat berkeringat. Sesil pun mendekatinya dan bertanya,

"Kamu ngapain?" Sesil bertanya padanya. Anak laki-laki itu lalu mengusap keringatnya dan menjawab dengan nada marah,

"Ini loh nyari punyaku kemarin hilang di sini. Kesel banget gak ketemu-temu."

"Nyari apa?"

"Harmonika,"

Dahi Sesil mengernyit, dia sungguh tidak tahu apa itu harmonika. Yang dia tahu, dia pernah membaca tontonan Ibunya di ponsel, kalau tidak salah pun bacaannya Agnes Monica, mungkin sebelas dua belas dengan harmonika.

"Harmonika yang suaranya bagus ya?"

"Iya, harmonika punya suara yang bagus kalo ditiup."

Ditiup? Sesil bingung, bagaimana bisa?

"Harmonika apa sih?" Sesil pun akhirnya memutuskan untuk bertanya.

"Hm, kata Mamaku harmonika itu alat musik. Bentuknya kotak, warna putih, terus ada bolongannya banyak."

Sesil mengerjapkan matanya beberapa kali untuk membayangkan, tapi tidak kunjung juga tergambar seperti apa harmonika itu.

"Aku bantuin cari ya,"

Mereka berdua menyusuri area taman di tengah terik matahari, lalu, Sesil seperti melihat sebuah benda panjang berwarna putih di atas perosotan. Ah mungkin ini, pikirnya. Ia mengambil benda itu dan turun dari perosotan lalu mengacungkannya ke arah anak laki-laki tadi sambil berteriak,

"Ini namanya harmonika bukan?"

Anak laki-laki tadi yang masih sibuk mencari dan menyingkirkan dedaunan kering seketika langsung membeliak senang melihatnya,

"Iya! Iya! Itu punyaku," anak itu berlarian menghampiri Sesil dan mengambil harmonikanya.

"Iya, ini namanya harmonika! Keren kan?"

Sedu Sang EmbihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang