Four; Gara-gara Martabak

19 4 1
                                    

Raya berjalan menuruni tangga rumah. Dilihat dari anak tangga, ruang tamu terlihat sepi. Seperti tidak ada orang yang beraktivitas. Ia berjalan menuju ruang keluarga. Ternyata juga sepi, tidak ada orang. Di mana Mama dan Papanya?

Raya menoleh ke arah dapur. Ada seseorang yang membuka kulkas. Saat orang itu menegakkan tubuh dan menegak air dingin, ternyata itu kembarannya. Raya menghampiri Pita. Pita yang sedang minum, matanya menangkap Raya yang datang menghampirinya.

"Mama Papa kemana Pit?" Raya bertanya.

Pita menutup botol di tangannya dan mengembalikan ke dalam kulkas lalu menutup pintunya. Ia menatap Raya bersedekap sambil bersandaran di pintu kulkas. Di matanya, ada siluet kebencian. Raya menatap Pita yang lebih tinggi darinya. Walaupun mereka kembar, postur tubuh mereka berbeda. Wajah mereka pun berbeda.

"Papa Mama ke rumah Tante tadi jam 5," jawabnya dingin.

Raya mengangguk paham. Ia membalikkan badan, ingin pergi ke kamar. Tapi, panggilan Pita membuatnya berbalik lagi. Padahal Pita tidak memanggil dengan namanya.

"Heh Njing sini lo!" panggil Pita dengan kata dan nada yang tidak enak di dengar.

"Apa?" jawab Raya.

Pita memandang remeh Raya dan memiringkan bibirnya, "Ckck dasar dungu, dipanggil Anjing juga noleh. Emang ga punya otak lo. Bisanya cuma mainan raket nyamuk sama ngamen. Ga guna, gue yang jadi kembaran lo aja malu."

Raya yang mendengar kata-kata Pita, mukanya merah padam, tangannya mengepal menahan amarah. Lalu ia menghembuskan napas sabar, ia tidak mau marah-marah. Kini muka merahnya perlahan-lahan memudar.

"Lo mau nyuruh gue apa?" Raya menstabilkan kalimatnya.

Pita mendekat masih menyilangkan tangan lalu berucap, "Lo beliin gue martabak telor. Ga pake lama. Uangnya pake punya lo, punya uang kan? Kalo ga punya ngamen sana pake suara lo yang katanya merdu itu."

Raya langsung bergegas meninggalkan Pita. Ia tidak memedulikan ucapan Pita, apalagi menjawab.

=*

Raya mengusap satu dua bulir air mata yang jatuh di pipinya. Hatinya sakit sekali mendengar ucapan Pita, kembarannya. Raya memang memiliki bakat dalam olahraga bulu tangkis dan menyanyi.

Ia tahu jika dirinya tidak sepandai kembarannya. Ia mengakui dirinya memang nol dalam hal akademik. Apalagi populer, dikenal semua orang dan memiliki sahabat yang kaya sepantaran dengan Pita, itu bukan dirinya sama sekali. Menurut Raya, apa salahnya jika ia menyukai bulu tangkis dan menyanyi?


Jika ia tidak berbakat dalam hal akademik, ia bisa mengimbangi di non akademik bukan? Ia mengakui kembarannya memang pintar, tidak tapi jenius. Disaat sepantarannya bermain masak-masak, barbie, bersepedaan atau ke taman, tapi tidak dengan Pita. Ia menghabiskan masa kecilnya dengan banyak buku-buku tebal.

Bayangkan saja, ia sudah menguasai Bahasa Inggris sejak berumur 4 tahun dengan kemampuan otodidak. Lalu saat berumur 9 tahun, kemampuan Bahasanya meningkat menjadi 5 bahasa. Tanpa bimbel, guru, tutor, tentor, mentor atau apalah itu.

Saat kelas 5 SD, ia sudah menguasai pelajaran SMP dan SMA. Raya ingat waktu Ujian Nasional, Pita meraih nilai 30.00. Mama Papa sangat senang sekali saat itu. Raya pun juga ikut senang. Ia tidak pernah iri sekalipun dengan Pita.

Raya berjalan dikeremangan lampu. Air matanya sudah tidak keluar lagi. Lagian, jika ada yang melihatnya menangis, bisa-bisa ia dikira baru putus dengan pacar atau dikira anak broken home. Ia tidak mau orang lain memikirkan itu.

Jutek BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang