4

2.8K 417 133
                                    

🐑🐑🐑

Semenjak Andra memutuskan tinggal di peternakan, ia dan Aya terpaksa berpisah. Hal demikian sukses membuat Aya uring-uringan. Tak ada lagi sosok yang biasa membelanya saat ayah dan bunda mengomelinya. Mengharapkan Al? Sepertinya tak ada harapan. Adik laki-lakinya itu justru menghadiahinya senyuman sinis yang sukses membuat sebuah kotak tisu melayang ke udara. Aya dan Al sangat jarang terlihat akur.

Jikalaupun akur, pasti di luar tengah hujan badai.

Setengah hari pada hari minggu kala itu, Aya hanya uring-uringan di dalam kamar. Beberapa pesan masuk melalui aplikasi WhatsApp sama sekali tak diindahkan. Ia hanya membutuhkan sedikit kabar dari sang kembaran saja.

Sayangnya, yang dirindukan sama sekali tak mengangkat panggilannya. Pesannya juga tak dibaca. Pada saat itu ingin rasanya Aya datang ke peternakan dan membumihanguskan para kambing dan sekawanannya tersebut. Gara-gara ternak itu, Aya diabaikan sang abang.

Tring.

Sebuah pesan kembali masuk. Di antara seribu lebih pesan masuk dari 500 kontak, hanya satu pesan yang Aya buka.

Kami OTW ke rumah elo.” Sebuah pesan dari Hana yang ia baca.

Tak berniat membalas, Aya menutup aplikasi dan melemparkan ponselnya sembarang arah. Ia tak peduli jika ponsel mahal itu kembali hancur karenanya. Ia hanya tinggal merayu sang ayah dan besok pasti sudah ada di atas meja belajarnya.

Ayahnya itu tak pelit asal mengerti bagaimana cara merayunya.

“Kak Ayaa...” teriakan sang bunda membuat Aya melenguh malas. Entah apa yang bundanya itu inginkan sehingga suaranya mampu membuat akuarium ikan hias sang ayah retak di beberapa sisi.

Bercanda. Aya hanya melebih-lebihkan saja. Namun, Aya tak bercanda jika saat ini bundanya itu tengah dalam emosi yang menggebu.

Oh, Aya memaksakan diri beranjak dari kasur empuk super nyamannya. Meski di beberapa sisi seprainya terdapat titik-titik hitam yang disebut kotoran lalat, akibat sang empunya seprai tak pernah memerhatikan kebersihan tempat tidur. Nasib baik tak ada kutu kasur yang ikut membangun desa di sana.

“Kak Aya!!” sekali lagi panggilan nyaring itu terdengar.

“Iyaa. Kakak dataang...” sahut Aya lesu.
Ia menuruni anak tangga dengan langkah tertatih dan rambut acak-acakan. Bunda sangat tahu jika anak gadis satu-satunya itu belum mandi bahkan saat adzan zuhur sebentar lagi akan berkumandang.

“Kakak nggak mandi, ya?” tanya bunda hendak marah.

Aya hanya menggelengkan kepala.

“Astaghfirullahal’adziiim... Ini udah siang, Kak. Sebentar lagu zuhur. Kakak itu mau jadi apa sampe jam segini baru bangun? Kemarin Bunda udah suruh Kakak itu cuci pakaian Kakak sendiri. Sekarang liat, keranjang itu penuh sama pakaian Kakak semua. Seminggu penuh nggak nyuci, besok mau pake seragam apa?” amuk bunda.

Semenjak Aya menginjak kelas dua belas, Naya semakin bersikap tegas pada anak-anaknya. Pakaian anak-anaknya kini tak menjadi tanggung jawabnya lagi. Kecuali pakaian Althaf. Tapi terkadang Al lebih sering mencuci pakaiannya sendiri, karena menurutnya bunda tak mencuci pakaiannya dengan benar. Masih tercium aroma sabun di serat-serat kain. Padahal Naya telah membilas pakaian anak itu sebanyak empat kali.

FlowerBoy New EraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang