3

2.8K 479 179
                                    

🐑🐑🐑

Alif kembali ke ruang tengah. Mulutnya tak berhenti kumat-kamit dengan wajah yang terlihat sangat kesal. Ia urung masuk ke kamar putra sulungnya usai mendengar perbicangan anak kembarnya di balkon kamar mereka. "Anak jaman sekarang, ayahnya sendiri mau dimusnahkan. Kan kurang ajar namanya, kalo ayahnya sendiri dikatain mirip batu dan mau dihancurkan pake palu batu."

Celoteh kemarahan Alif di dengar Naya yang kala itu baru saja kembali dari dapur. Wanita itu akhirnya bertanya, "kenapa lagi? Jadi bernegoisasi sama Abang?"

Alif menghempaskan bokongnya ke atas sofa. Al yang sedang tengkurap sembari menonton video merakit robot di youtube, ikut mendongakkan kepala menatap sang ayah.

"Negoisasi apanya. Dua anak kembarmu itu bener-bener kurang terasi kayaknya. Masa iya ayahnya dikatain mirip batu? Apa pantas seorang anak berkata kayak gitu sama orangtuanya?"

Naya dan Al kompak mengetap bibir menahan tawa. Ibu dan anak bungsunya tersebut tak ingin menyalahkan siapapun. Memang dasarnya kepala keluarga mereka itu benar-benar keras kepala sehingga si kembar menyamakannya seperti batu. Keras. Tepat sekali.

Naya memutuskan ikut duduk di sebelah sang suami, lantas berkata, "sabar, Yah. Jangan marah-marah terus. Ingat umur itu udah nggak muda lagi. Kalo marah terus takutnya..." Naya sengaja menggantung kata terakhir. Bibirnya digigit sembari meringis. Ia tak mau apa yang ia pikirkan benar-benar terjadi pada sang suami. Walau bagaimanapun, Naya tak siap harus hidup tanpa pria menyebalkan tapi sangat ia cintai tersebut.

Mengerti maksud perkataan sang istri, Alif meliriknya tajam, lalu mendengus. "Ayah nggak akan marah-marah terus kalo anak-anak itu nggak berenti bikin ulah. Dari kecil sampe sebesar sekarang ini mereka nggak berenti bikin orangtuanya tepok jidat. Permintaan mereka nggak ada yang normal. Gimana Ayah nggak makin tua coba?"

Sembari menonton youtube, Althaf memutar bola matanya, lantas bergumam pelan, "tua kok nyalahin anak? Emang udah  tua, kok."

"Kamu bilang apa, Dek?!" Alif meninggikan suara.

Althaf cengengesan, kemudian menggelengkan kepala. "Ini loh, Yah. Orang yang bikin video nggak kreatif," dalihnya.

Alif mendengus. "Maksudku gini, Nay. Abang boleh jadi peternak atau pekebun, petani, atau tukang apapun itu. Tapi, seenggaknya kuliah dulu. Sekarang, tamat SMA bisa kerja apa?"

"Peternak." Al berceletuk cepat tanpa mengalihkan tatapannya dari ponsel. Anak itu diam-diam ternyata menyimak perbincangan kedua orangtuanya.

"Iya. Peternak. Apa sekedar jadi peternak itu cukup? Sekarang, mau jadi petani juga kudu kuliah. Ada kuliah pertanian. Mau jadi juragan ikan, kuliah perikanan. Mau jadi peternak, kuliah perternakan. Bagi kalian-kalian yang cuman tamatan SMA, cuman jadi kacung para sarjana itu. Kalian mau? Seenggaknya jadilah peternak atau petani yang bertitel sarjana gitu loh maksud Ayah."

"Terus, kenapa nggak ngomong begitu sama Abang dari kemarin-kemarin? Suka banget deh bikin anak kesal duluan." Naya berujar cukup kesal. Wanita itu mengambil bantal sofa, lalu mendesah. "Nanti deh Bunda ngomong baik-baik sama Abang. Tapi, nggak apa 'kan kalo Abang kuliah pertanian?"

Alif tak langsung menjawab. Pria itu sebenarnya masih tak rela ketika salah satu anaknya mengambil pendidikan yang berhubungan dengan pertanian. Setidaknya Alif ingin putranya itu kuliah di bidang yang sedikit lebih keren.

Melihat respons lamban sang suami, Naya mengetap bibir. Paha suaminya dicubit geram. "Jangan plin-plan."

"Ish. Sakit, Nay. Iya, iya. Terserah dia deh. Yang penting dia kuliah," putus Alif.

FlowerBoy New EraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang