8/8

490 59 4
                                    

𖥻𖥻𖥻

Jalan sepi sepanjang mata memandang. Hembusan angin mendekap sehabis hujan, ketika menyentuh kulit membuat [Name] merinding. Salahnya sendiri, seharusnya pakai pakaian panjang jika keluar.

[Name] mendongakan kepala menatap paksi-paksi di atas sana, sembari jalan santai. Sekali lagi angin berhembus, ia memejamkan mata guna menikmati.

Tak terasa sekarang dirinya sudah kelas dua. Padahal rasanya baru kemarin [Name] menerima hasil ujian yang dicemaskannya. Hasilnya cukup memuaskan, ia senang.

Meski tak bisa masuk peringkat lima besar, tapi setidaknya ia masuk sepuluh besar. Ada sedikit peningkatan.

Omong-omong sejak naik kelas dua, [Name] tidak sekelas lagi dengan Kenma. Entah kenapa ia tidak senang. Dan akhir-akhir ini juga ia tak banyak bicara dengan Kenma.

Sempat waktu itu [Name] coba ajak mengobrol, masih sama, degup jantungnya tidak lelah-lelahnya melaju cepat. Perihal perasaan aneh yang bersemayam dalam diri, datangnya dari mana?

Amat larut dalam pikiran, [Name] merendahkan pandangan. Ia menatap jalanan depan, takutnya ada tiang nantinya ditabrak.

Tepat tatap lurus ke depan, netranya seketika fokus pada siluet pemuda yang berjarak beberapa meter di hadapan.

Tuh, 'kan. Sudah dibilang, ada yang aneh dengan diri [Name]. Hanya melihat Kenma, detak jantungnya laju sekali berpacu.

Sedangkan pelakunya malah santai semakin mendekat.

"Kau sedang apa?"

[Name] sempat-sampatkan dulu terkagum pada Kenma yang memulai topik pembicaraan.

"Hanya jalan-jalan sore. Ini mau balik lagi."

Sehabis jawab demikian, [Name] memutar badan, berjalan searah dengan Kenma dengan beriringan.

Dalam perjalanan yang dipenuhi keheningan, [Name] berkali curi-curi pandang ke arah Kenma.

Laki-laki itu tahu sedari tadi tingkah [Name], namun ia lebih pilih diam sambil diam-diam tersenyum geli, tentu tanpa diketahui.

"Eum.."

Nyatanya sulit sekali cari topik baru dikeadaan sekarang. [Name] gugup, dan ketara sekali dimata Kenma.

"Ba-bagaimana dengan latihan volimu?"

"Biasa saja."

"O-oh.."

Duh, sekarang [Name] harus bagaimana lagi? Tetap diam hingga sampai rumah?

"[Name]."

"H-ha? iya? kenapa?" responnya cepat, disertai mata terbelak kaget sebab tiba-tiba Kenma memanggil tanpa aba-aba.

"Kita jarang-jarang jalan bersama begini lagi. Terakhir kali saat kelas satu."

[Name] cepat kasih toleh dengan wajahnya tertegun. Ia terkesiap. Ternyata bukan hanya ia yang berpikir demikian. Kenma pun merasa.

Lalu, apa-apaan dengan kita? Kata itu berhasil membuat perut serasa dipenuhi ribuan kupu-kupu.

"Iya, 'kan?" Kenma menoleh, sedikit merendahkan pandangan supaya kedua netra mereka bertemu.

[Name] melengos, pipinya seketika terasa hangat. Detak jantungnya sudah tidak karuan.

Namun [Name] masih berusaha lagi memberi respon sewajarnya.

"Benar juga.." sebelu melanjutkan kalimat [Name] pandang sekilas arah Kenma, lalu ia tersenyum tipis. "Akhir-akhir ini kau juga jarang menemaniku."

Setelah sepenuhnya membiarkan otaknya yang ambil kendali [Name] menjadi lumayan tenang. Lagipun kenapa ia gugup?

Reaksi tubuhnya ini menunjukan tanda-tanda seperti orang sedang jatuh cinta. Konyol sekali.

Sekarang ini, rasa-rasanya pipi [Name] sedang merona. Mungkin sebab cahaya senja.

"Sebenarnya aku mau temani kamu tiap saat. Apalagi ketika sakit, kamu butuh perhatian lebih, 'kan?"

Sore hari ini, di bawah langit jingga bersama swastamita yang istimewa, sangkala seakan terhenti. Dunia [Name] berpusat pada Kenma seorang.

﹌﹌﹌﹌﹌﹌﹌﹌﹌﹌﹌

fin.

accompany ✓ | kozume kenmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang