Prolog

857 97 116
                                    

Di sebuah gudang tua, jauh dari keramaian, teriakan putus asa bergema, menghancurkan keheningan malam. Di tengah lantai beton yang dingin dan kotor, seorang gadis muda terbaring dengan napas yang tersengal, matanya memandang tak percaya pada lengan yang kini tergeletak di sampingnya, terputus dan berdarah. Gadis itu adalah Batna Tasia.

Rasa sakit yang luar biasa mengalir melalui tubuhnya, membakar setiap saraf. Darah merah kental mengalir deras, meresapi pakaian putih yang dikenakannya, mengubahnya menjadi merah mengerikan. Tasia beringsut mundur, mencoba menjauh dari dua sosok yang dikenalnya—teman sekelas yang dulu dianggapnya sahabat.

"Tolong! Kalian ini monster! Bagaimana bisa kalian tega?" jerit Tasia, suaranya parau oleh rasa sakit dan ketakutan. Namun, lelaki tampan berkulit pucat di depannya, dengan mata yang kini dingin dan tanpa belas kasihan, hanya mencibir.

"Tutup mulutmu, jalang!" bentaknya, suaranya tajam seperti pisau. Dengan cepat, ia membekap mulut Tasia, mencegah teriakan lebih lanjut. Sementara itu, seorang gadis berambut pirang lurus berdiri tak jauh, menatap dengan senyum kejam di bibirnya. Ia memegang kapak panjang, mata senjata itu berkilat tajam di bawah cahaya lampu redup.

"Akhirnya, gadis sok suci ini tahu rasa," katanya sambil mendekati Tasia, mengayunkan kapak dengan santai. "Tasia, si cantik yang selalu pamer di sekolah. Kamu pikir kamu spesial?"

Tasia meronta, mencoba melawan, tapi kekuatannya semakin lemah. Dengan satu hentakan kejam, gadis pirang itu mengayunkan kapaknya, menargetkan kaki Tasia.

"Aaaahhhh!" Jeritan Tasia menggema di dalam gudang saat kapak itu menembus kulit, otot, dan tulang, memisahkan kedua kakinya dari tubuh. Darah menyembur, melukis lantai dengan warna merah yang lebih gelap dan pekat.

"Diam, kau!" teriak gadis pirang itu lagi, menancapkan kapaknya ke dada Tasia tanpa ragu. Goresan kapak itu membelah kulit dan daging, menghujam hingga ke jantung.

Tasia terkejut, matanya melebar. Setiap tarikan napas menjadi perjuangan menyakitkan. Dia merasakan dingin yang mulai merayapi tubuhnya, dan pandangannya mulai kabur. Dalam sekejap yang terasa seperti keabadian, ia melihat wajah sahabat-sahabatnya, tak ada penyesalan di sana—hanya kekejaman yang murni.

Dengan napas terakhirnya, Tasia mengeluarkan erangan pelan, lebih seperti bisikan, "Kenapa...?" sebelum tubuhnya jatuh ke lantai yang kini menjadi genangan darah. Jiwanya melayang, meninggalkan tubuh yang hancur dan tak bernyawa.

Lelaki tampan itu menghela napas panjang, melepaskan cengkeramannya dari mulut Tasia yang kini sepi. "Akhirnya selesai," katanya, seolah tindakan keji ini hanya urusan yang harus diselesaikan. Gadis pirang itu hanya tertawa kecil, menatap tubuh Tasia yang terbaring diam.

Gudang itu sunyi kembali, hanya diiringi suara tetesan darah yang jatuh satu demi satu, mengisi keheningan dengan ritme kematian yang lambat. Ini bukan sekadar akhir hidup seorang gadis, tetapi awal dari sesuatu yang jauh lebih gelap—dendam yang membara, dan kutukan yang tak akan dibiarkan berlalu tanpa pembalasan.

Malam itu, di dalam gudang yang dingin dan suram, tragedi baru saja terjadi. Namun, dalam bayang-bayang kematian, sebuah kekuatan tak terlihat mulai bergerak, mempersiapkan diri untuk menghukum mereka yang berpikir bisa lolos dari kejahatan mereka. Ini adalah awal dari teror yang tak terbayangkan—teror yang akan terus menghantui, membawa hukuman yang pantas bagi mereka yang telah menciptakan kengerian ini.

KASAM (Telah Diterbitkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang