Part 11

165 35 2
                                    

Di sebuah ruangan gelap dengan cahaya remang-remang dari lilin, Alex dan Mirah duduk bersebelahan, masih terkejut dan merasa tak percaya dengan apa yang baru saja mereka alami. Mereka baru saja bertemu dengan Pak Sujito, seorang dukun yang dikenal dengan kekuatan mistisnya, yang memberi mereka kalung jimat untuk melindungi dari teror roh Tasia. Di tengah-tengah kebingungan, Mirah masih bisa mendengar gema suara Pak Sujito yang menggelegar di telinganya, seakan-akan berusaha menembus kesadarannya dan mengingatkan tentang kesalahan masa lalu yang belum terselesaikan.

"Ini tidak mungkin," gumam Alex, suaranya pecah. "Bagaimana kita bisa tahu kalau roh itu benar-benar Tasia? Mungkin ini cuma halusinasi kita." Mirah memegang kalung jimat di lehernya dengan erat, mencoba mencari ketenangan dari benda itu. "Aku tahu ini Tasia, Alex. Aku bisa merasakannya. Dendamnya, rasa sakitnya... semuanya nyata. Kita yang bertanggung jawab atas semua ini."

Kilasan ingatan masa lalu mulai membanjiri pikiran Mirah. Kenangan saat mereka masih di sekolah, di mana Tasia, seorang gadis yang pemalu dan sering dijadikan sasaran ejekan oleh Mirah dan teman-temannya. Kenangan pahit tentang suatu malam di mana lelucon yang terlalu jauh menyebabkan Tasia terjatuh dan terluka parah. Mereka panik, meninggalkan Tasia yang terkapar, berdarah di lantai. Mirah dan teman-temannya terlalu takut untuk meminta bantuan, membiarkan Tasia meninggal dalam kesendirian dan ketakutan. "Kita yang membunuhnya," bisik Mirah dengan air mata mengalir di pipinya. "Dan sekarang dia kembali untuk membalas dendam."

Alex terdiam, matanya kosong, mungkin membayangkan kembali malam mengerikan itu. Mereka tak pernah benar-benar mengaku, tak pernah ada penyelidikan mendalam karena Tasia dikenal memiliki kondisi kesehatan yang buruk. Tetapi mereka tahu. Semua teman mereka tahu. Tasia meninggal bukan hanya karena kondisi kesehatannya, tapi karena tindakan mereka yang tanpa hati.

***

Di tempat lain, Mazaya merasa gelisah. Pertemuannya dengan Bu Safrina membuatnya merasa sedikit lebih tenang, tapi ada perasaan tak nyaman yang merayap di bawah kulitnya. Dia memikirkan Casandra, teman barunya yang begitu misterius. Ada sesuatu yang tidak benar dengan Casandra, tapi Mazaya tak bisa memutuskan apa itu. Telepon yang singkat dengan Casandra tadi malam hanya memperkuat kecurigaannya. Mazaya berjalan mondar-mandir di kamarnya, memikirkan semua hal aneh yang terjadi belakangan ini. Mimpi-mimpi buruk, penampakan-penampakan aneh, dan sekarang teman-temannya satu per satu meninggal dengan cara yang mengerikan. Dia tidak bisa mengabaikan firasat bahwa Casandra tahu lebih banyak dari yang dia katakan.

Sementara itu, di jalan yang sepi dan gelap, Mirah dan Alex melaju dengan cepat. Alex terus berbicara, mencoba menenangkan Mirah, tapi suara-suara dari masa lalu terus mengusik pikirannya. Tiba-tiba, Mirah melihat sosok di tengah jalan. "Alex! Lihat!" Mirah berteriak, tangannya menunjuk ke depan. Alex mengerem mendadak, mobilnya berdecit keras, hampir kehilangan kendali. Sosok itu adalah Tasia. Wajahnya yang pucat dan penuh luka, mata kosong menatap mereka dengan penuh dendam. Rambutnya berantakan, pakaian yang compang-camping masih menyisakan bekas-bekas darah kering.

"Tidak, ini tidak mungkin!" Alex terkejut, matanya terpaku pada sosok itu.

"Jangan lihat dia! Ini hanya ilusi!" Mirah berteriak panik, menutup matanya dengan tangan gemetar.

Namun, ilusi itu terasa sangat nyata. Tasia mulai mendekat, setiap langkahnya menimbulkan suara gemeretak yang mengerikan, seperti tulang-tulang yang patah. Dia mengulurkan tangannya, memanggil mereka dengan suara yang penuh rasa sakit dan marah. "Kalian tidak bisa lari... Kalian harus membayar..."

Alex dan Mirah berusaha keras untuk tidak mendengarkan, tapi suara itu semakin keras, memekakkan telinga mereka. Kalung jimat yang mereka kenakan mulai bergetar, seakan-akan merespons keberadaan Tasia. "Ayo kita pergi dari sini!" Alex menginjak pedal gas, mencoba melarikan diri dari penampakan itu. Tapi mobil mereka tidak bergerak. Mesinnya menggeram, tapi tidak maju.

Tasia semakin mendekat, wajahnya yang rusak kini hanya beberapa inci dari kaca depan. Dengan suara bergetar penuh kebencian, dia berkata, "Kalian tidak bisa melarikan diri dari dosa kalian..."

Tiba-tiba, suara keras dan deru angin yang kuat menghantam mobil. Sosok Tasia hilang, tapi dentuman keras membuat mereka berdua terkejut. Mirah melihat ke kaca spion dan menjerit. Tubuh Tasia tergantung di sana, berayun-ayun dengan leher yang patah. Mata kosongnya terus menatap mereka, seolah-olah menuntut keadilan. "Kita harus kembali ke Pak Sujito! Hanya dia yang bisa menghentikan ini!" teriak Mirah, air matanya mengalir tanpa henti.

"Ya Tuhan, ini gila!" Alex panik, namun dia mencoba berbalik arah. Tapi sesuatu menghentikan mereka lagi. Rasa sakit tiba-tiba menyerang dada Alex. Dia berteriak kesakitan, mencengkeram dadanya dengan tangan gemetar.

"Lex! Apa yang terjadi?" Mirah berteriak ketakutan, memegang tangan Alex yang mulai dingin."Aku tidak tahu... terasa seperti ada yang mencengkram jantungku..." Alex terengah-engah, wajahnya pucat pasi.

Mirah menoleh ke arah jimat di leher Alex, yang kini bersinar dengan cahaya merah gelap. Cahaya itu seperti darah yang mengalir, membentuk simbol-simbol aneh di udara. "Tidak! Ini tidak mungkin!" Mirah mencoba melepaskan jimat itu, tapi terasa panas seperti terbakar.Tasia muncul lagi, kali ini di dalam mobil. Tubuhnya terpotong-potong, seolah-olah dimutilasi. Dia tersenyum dingin, giginya yang runcing berkilauan di bawah cahaya lampu mobil. "Kalian semua akan merasakan penderitaanku..."

Mirah berteriak, mencoba melawan sosok itu, tapi dia merasa tak berdaya. Alex menggeliat, berusaha melawan rasa sakit yang semakin menyiksa. Dalam kekacauan itu, bayangan Tasia menjadi semakin nyata, seperti menyatu dengan kegelapan yang mengelilingi mereka.Tiba-tiba, suara keras terdengar di telinga mereka. Sebuah suara yang memanggil nama-nama mereka dengan nada yang penuh kekuatan. "Mirah! Alex!"

Mereka membuka mata, dan melihat Bu Safrina berdiri di depan mereka, memegang tongkat kayu yang berkilauan dengan cahaya suci. "Kalian harus melawan! Jangan biarkan dia menang!"

Dengan usaha terakhir, Mirah dan Alex berteriak serentak, memanggil kekuatan yang tersembunyi dalam diri mereka. Cahaya dari jimat mereka berubah, dari merah gelap menjadi putih cemerlang. Sosok Tasia memudar, berteriak kesakitan sebelum akhirnya hilang sepenuhnya. Ketika semuanya tenang, Bu Safrina mendekat, membantu mereka keluar dari mobil. "Kalian berhasil, tapi ini belum selesai. Kalian masih harus menghadapi dosa masa lalu kalian."

Mirah dan Alex terisak, merasa lega namun juga takut akan masa depan. Mereka tahu bahwa mereka harus menghadapi kebenaran dan menebus kesalahan mereka. Dengan Bu Safrina sebagai penuntun mereka, Mirah dan Alex memulai perjalanan menuju pengampunan. Mereka tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, dan bayangan Tasia mungkin masih akan menghantui mereka. Namun, mereka bertekad untuk menebus dosa-dosa mereka dan mencari kedamaian, baik untuk diri mereka sendiri maupun untuk roh Tasia yang tersiksa.

KASAM (Telah Diterbitkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang