Part 3

354 60 30
                                    

Teriakan Bianca menggema di lorong sekolah, menggema dengan ketakutan yang merasuk hingga ke tulang. Tubuhnya terhuyung, dan dalam hitungan detik, ia terjerembab ke lantai, pingsan. Kepanikan segera menyebar seperti api yang menyambar daun kering. Seisi sekolah terkejut, bergegas menuju sumber kegemparan, mencoba mencari tahu apa yang terjadi.

"Bianca! Bianca, kamu kenapa?" Ana berteriak dengan cemas, berjongkok di samping sahabatnya yang tidak sadarkan diri. Suasana berubah menjadi hiruk-pikuk, dengan murid-murid saling berdesakan mencoba melihat apa yang terjadi. "Kita harus bawa dia ke UKS!" teriak salah satu siswa, suaranya nyaris tenggelam dalam kebisingan. Mereka membopong Bianca menuju ruang UKS, wajah-wajah cemas mengiringi langkah mereka. Ana terus menepuk-nepuk pipi Bianca, berusaha membangunkannya, namun tidak ada respon. Wajah-wajah penasaran murid lainnya menatap Bianca dengan berbagai spekulasi, bertanya-tanya apa yang mungkin telah dilihatnya.

Di dalam kelas, Casandra duduk dengan tenang, membaca buku tebal pelajaran Kimia. Wajahnya tetap datar, tidak terpengaruh oleh hiruk-pikuk di luar. Saat Mirah melangkah masuk, dia tidak bisa menahan diri untuk memandang Casandra dengan tatapan penuh selidik. "Hai. Kenalin, namaku Mirah. Cewek paling cantik dan seksi di kelas ini," katanya dengan nada penuh kebanggaan, duduk di atas meja dengan gaya angkuh.

Casandra menutup bukunya perlahan, mengangkat pandangannya ke arah Mirah. "Kamu sudah tahu siapa aku, kan?" jawabnya dengan nada yang dingin. Mirah tersentak. "Sok banget ini cewek," pikirnya. "Ngomong-ngomong, alasan kamu pindah ke sini sebenarnya apa? Soalnya alasan kamu itu gak masuk akal. Katanya kagum sama sekolah ini, padahal di luar sana banyak sekolah yang lebih bagus."

Casandra menatapnya dengan tajam, "Kamu yakin mau tahu?" tanya Casandra, suaranya penuh dengan nada menantang. Mirah menelan ludah. "I... iya, kalau kamu kasih tahu. Aku cuma nggak mau ada pelakor di kelas ini," jawabnya dengan suara lebih pelan, agak gentar dengan tatapan Casandra. Casandra tersenyum tipis, nyaris sinis. "Aku mau menyelesaikan urusan yang belum selesai," ucapnya dengan nada misterius, membuat Mirah terkejut dan merasa tidak nyaman.

Sebelum Mirah sempat bertanya lebih lanjut, Alex masuk ke dalam kelas. "Sayang, kok kamu di kelas? Ngapain?" tanyanya, menarik Mirah keluar dari obrolan yang semakin aneh itu."Ngapain sih, bicara sama cewek aneh itu!" tegur Alex, mencoba menenangkan Mirah yang masih terlihat gusar. "Kamu ganggu aja! Aku cuma ingin tahu tentang dia. Aku nggak mau dia ngerebut kamu dariku," jawab Mirah, cemburu. Alex hanya bisa tertawa kecil, mencoba menenangkan Mirah yang terlihat lebih cemas dari biasanya.

Di tempat lain, Mazaya berlari tergesa-gesa menuju kelasnya, hampir menabrak Mirah dan Alex yang sedang berbicara di lorong. "Ya Tuhan, maaf, maaf! Aku nggak sengaja," katanya, napasnya terengah-engah. "Heh! Kamu buta ya? Kalau jalan itu pake mata!" bentak Mirah, marah. Namun, Mazaya tidak mengindahkan amarah Mirah dan buru-buru masuk ke dalam kelas, mencari Casandra.

Ketika Mazaya masuk ke kelas, ia mendapati Casandra duduk dengan tenang, membaca buku. "Aaa!" Mazaya terkejut dan menutup mukanya, takut dengan aura dingin yang dipancarkan Casandra. "Kamu kenapa?" tanya Casandra dengan nada lembut, meski dingin.Mazaya mencoba menenangkan diri. "Kamu siswi baru, kan? Aku baru hari ini melihatmu," ucap Mazaya, memperkenalkan diri dengan tangan yang sedikit gemetar.

Casandra menjabat tangan Mazaya. "Aku Casandra," jawabnya singkat, tersenyum tipis."Oh, kenalin, namaku Mazaya... auu," Mazaya terkejut, merasakan dinginnya tangan Casandra yang hampir seperti es batu. "Kamu sakit ya? Tanganmu dingin sekali," tanya Mazaya, menggosok tangannya untuk menghangatkan diri. Casandra tidak menjawab, hanya menatap Mazaya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Terima kasih," ucap Casandra singkat, lalu kembali duduk dan melanjutkan membaca bukunya.

Kriing...

Bel sekolah berbunyi, menandakan waktu pulang. Mazaya terkejut, menyadari betapa cepat waktu berlalu. "Ya ampun, ternyata aku telat," ujarnya, sedikit panik. "Yuk, kita pulang," ajaknya pada Casandra, yang hanya mengangguk tanpa ekspresi.

***

Di rumah, Mirah merasa semakin gelisah. Berbaring di kasurnya, ia merenung tentang hari yang aneh itu. "Aku benci kamu, Casandra! Aku benci kamu, Mazaya! Aku benci semuanya!" teriaknya, melempar bantal ke dinding.

Cringg...

Suara pecahan kaca mengagetkan Mirah. Ia bergegas ke ruang tengah, melihat pecahan gelas yang berserakan di lantai. "Siapa yang pecahin gelas ini?" bentaknya, merasa marah dan bingung. Ia memanggil Bibi Karina, pembantu rumah tangga mereka.

"Iya, Non Mirah? Ada apa?" tanya Bibi Karina, datang dengan tergesa-gesa.

"Siapa yang pecahin gelas ini?" Mirah menuding ke lantai, tetapi saat ia melihat kembali, tidak ada pecahan gelas di sana. "Apa-apaan ini?" Mirah ternganga, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Bibi Karina memandang Mirah dengan penuh kekhawatiran. "Tidak ada pecahan gelas, Non. Mungkin Non Mirah hanya kecapean, jadi berhalusinasi," jawab Bibi Karina lembut, mencoba menenangkan Mirah. Mirah menatap kosong, tidak bisa mempercayai apa yang baru saja dialaminya. "Ini semua gara-gara cewek sialan itu!" gerutunya, merasa semakin tertekan dan marah.

Di jalan raya, Mazaya dan Casandra berjalan bersama pulang sekolah. Cuaca tiba-tiba berubah mendung, angin dingin berhembus, membawa serta aroma tanah basah. Mazaya mendongak, memandang langit yang mulai gelap. "Kok tiba-tiba mendung, ya? Padahal tadi cerah banget," ujarnya sambil memeluk dirinya sendiri untuk menghangatkan tubuh.

Casandra hanya tersenyum tipis, pandangannya terpaku pada jalan di depan. "Kadang cuaca berubah tanpa kita duga," jawabnya dengan nada misterius.Mazaya menatap Casandra, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Tapi sebelum dia bisa bertanya lebih lanjut, Casandra sudah lebih dulu menatapnya dengan mata hitam pekat yang dingin. "Kamu yakin mau berteman dengan aku, Mazaya?" tanyanya, suaranya terdengar seperti bisikan angin.

Mazaya merasa ada yang menusuk hatinya, perasaan takut dan cemas merayap di punggungnya. Tapi dia menepis perasaan itu, memaksa dirinya tersenyum. "Tentu saja, Casandra. Kenapa tidak?"

Casandra tidak menjawab, hanya tersenyum lagi, senyuman yang tidak mencapai matanya. Mereka berdua melanjutkan perjalanan dalam diam, dengan Mazaya yang terus merasa ada sesuatu yang gelap dan misterius tentang Casandra, sesuatu yang belum bisa ia pahami sepenuhnya.

*To be continued*

KASAM (Telah Diterbitkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang