Part 13

133 31 3
                                    

Mazaya membuka matanya perlahan, menatap langit-langit kamar yang putih bersih. Ia mencoba mengingat kembali mimpinya, mencari petunjuk di antara detik-detik samar yang masih tersisa. Namun, saat ia berusaha memusatkan pikiran, wajah Safrina tiba-tiba muncul dalam ingatannya. "Bu Safrina?" bisiknya, mencoba memanggil sosok yang tadi menghilang begitu saja. Keberadaan Safrina memang aneh, bagaikan kabut yang muncul dan hilang tanpa jejak.


Mazaya duduk di tepi tempat tidurnya, merasakan ketegangan yang merambat di punggungnya. "Apa benar semua ini? Casandra bukan murid baru. Tapi... Tasia..." pikirnya, mencoba mencerna kenyataan yang baru saja terungkap. Casandra, sahabatnya yang ia anggap manusia biasa, ternyata hanyalah penyamaran dari roh Tasia yang mencari balas dendam. Bayangan Tasia, dengan wajah penuh luka dan dendam, kembali menghantui benaknya. "Besok malam, aku harus tahu semuanya," Mazaya menggenggam kalung jimat yang diberikan Safrina, merasakan kekuatan yang menyatu di dalam dirinya. Ia bertekad untuk mengungkap misteri kematian Tasia dan teror yang menghantui mereka. 


Di tempat lain, Tasia tengah bercermin, menatap bayangannya dengan tatapan yang penuh perasaan campur aduk. "Aku merasakan, Mazaya telah mengetahui siapa diriku yang sebenarnya, Bu," kata Tasia, suaranya bergetar antara takut dan marah. Di belakangnya, Rossa, ibunya, berdiri dengan raut wajah penuh kecemasan. "Apa? Tidak mungkin! Kekuatan apa yang dia miliki hingga bisa tahu?" Rossa terdengar tidak percaya. Ia meraih sisir dari tangan Tasia, melanjutkan menyisir rambut panjang putrinya yang mulai menunjukkan tanda-tanda ketidakstabilan.


"Dia memiliki seorang paranormal yang berhasil membuka mata batinnya. Dan baru saja, dia diberikan anugerah ketajaman sensitivitas oleh paranormal itu," Tasia menjelaskan sambil menghapus luka sayatan di wajahnya, seakan itu hanya goresan kecil yang bisa disingkirkan dengan mudah. "Kalau begitu, kenapa tidak kamu lenyapkan saja dia!" bentak Rossa dengan amarah yang memuncak, tak mampu menahan rasa takutnya akan rahasia yang terbongkar."Jangan, Bu! Mazaya adalah sahabatku satu-satunya yang baik. Aku tidak akan membunuhnya," Tasia menolak keras. Ada sisi kemanusiaan yang masih tersisa di dalam dirinya, meski semakin lama semakin pudar.


Rossa menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Lalu, kamu membiarkan dia mengetahui semuanya? dan pada akhirnya dia akan membocorkan rahasia kita kepada orang lain?" Rossa menatap Tasia dengan tatapan tajam, menuntut jawaban. "Itu tidak akan terjadi. Mazaya tidak akan membocorkan rahasia ini. Tapi, aku harus memastikan besok malam, aku akan menggagalkan semua rasa penasarannya," Tasia mengukir senyuman miring, penuh keyakinan akan rencananya.


Namun, tiba-tiba tubuh Tasia mulai bergetar. "Akhhh...." ia mengerang kesakitan, jatuh berlutut di lantai. Rossa terkejut, buru-buru mendekati putrinya yang merintih kesakitan. "Apa yang terjadi, Nak?" tanyanya panik.


"Ada dua kalung tengkorak milik sepasang manusia laknat yang akan membuat kekuatanku lemah. Tapi, akan segera kuatasi," tandas Tasia sambil menahan rasa sakit. Ia menggigit bibir, menahan amarah yang membara di dalam dadanya.


"Kalung tengkorak? Dari siapa?" Rossa mulai merasakan bahaya yang mengancam.


"Dukun santet laknat itu. Pak Sujito," jawab Tasia dengan suara penuh kebencian.


"Sujito? Si dukun kampung sebelah? Beraninya dia!" Rossa marah, darahnya mendidih mendengar nama yang disebutkan putrinya.


"Ibu tunggu di sini. Aku akan menyusulnya," Tasia berdiri dengan mata yang bersinar merah, penuh dendam dan tekad. Rossa hanya bisa mengangguk, membiarkan putrinya pergi untuk menyelesaikan apa yang telah dimulai.


Di kampung sebelah, gempa dahsyat mengguncang gubuk tua Pak Sujito. Ia terperanjat, merasakan sesuatu yang mengerikan mendekat. "Kenapa ini?" Pak Sujito mulai komat-kamit, membaca mantra untuk mengelabui sesuatu yang datang. Namun, pintu gubuknya tiba-tiba terpelanting, hancur berkeping-keping.


Tasia muncul dengan wajah penuh amarah, matanya bersinar merah seperti bara api. "Pergi kamu! Jangan ganggu aku! Atau aku lenyapkan kamu!" bentak Pak Sujito dengan suara gemetar, mencoba menutupi ketakutannya.


"Kamu duluan!!!!" teriak Tasia dengan penuh dendam. Ia melompat ke arah Pak Sujito, kuku runcingnya mencakar wajah dukun itu, mencungkil kedua bola matanya. Darah memercik, mengotori wajah dan tangan Tasia yang penuh amarah. Pak Sujito berteriak kesakitan, merasakan kepedihan yang luar biasa saat kedua matanya dicungkil. "Aaaa... ampun... ampun..." jeritnya, namun Tasia tak peduli. Ia mengambil dua belati yang tergeletak di samping sesajen, menusuk kedua telinga dukun itu hingga darah mengalir deras.


"Aku tak butuh ampunanmu, dukun keparat!" Tasia menyayat wajah Pak Sujito dengan belati, menciptakan luka-luka yang menganga, mengalirkan darah yang berbau amis. "Sakit ya? Hahaha..." tawanya melengking, penuh kebahagiaan sadis.


"Aaaaa... ampun... ampun," teriak pak Sujito, tapi Tasia hanya tertawa.


"Sakit, ya? Ini baru permulaan," kata Tasia, menarik belati dari telinga dukun itu dan mulai menyayat-nyayat wajahnya. Darah bercucuran, mengalir dari luka-luka yang terbuka, dan pak Sujito hanya bisa mengerang kesakitan. Tasia tidak puas sampai di situ. Dia membelah dada pak Sujito dengan kejam, mencabut jantungnya yang masih berdetak. "Aku tidak akan memakan jantung tawar seorang dukun keparat!" teriaknya sambil membuang jantung itu ke lantai.


***


Di rumah sakit, Zara yang belum sepenuhnya pulih dari benturan keras, terbangun dari tidurnya yang penuh mimpi aneh. "Dimana aku?" bisiknya, mengamati sekeliling. Dia merasa aneh, seolah berada di tempat lain yang tidak dikenal. Mimpi itu terasa begitu nyata, dengan ombak laut yang ganas dan suara tawa menyeramkan. Mirah dan Alex, yang tertidur di sofa, terbangun oleh suara Zara. "Zara, kamu sudah sadar?" sapa Mirah dengan nada gembira, mendekati tempat tidur Zara.


"Iya, aku bermimpi aneh sekali," kata Zara, masih terpengaruh oleh mimpinya. "Aku berada di sebuah tempat dengan laut yang ganas. Seolah-olah ada sesuatu yang mengintai, dan tiba-tiba aku ditikam dari belakang."


"Ditikam? Kamu yakin itu hanya mimpi?" tanya Mirah, merasa sedikit khawatir.


Zara mengangguk, "Iya, tapi terasa sangat nyata."


Mirah berpikir sejenak. "Zara, acara perpisahan kita hari ini. Kamu masih mau ikut?"


Zara menatap Mirah, "Tentu saja. Ini momen penting, aku harus ada di sana."


Mirah tersenyum, "Baiklah, tapi kamu harus janji akan menjaga dirimu. Kita akan pulang ke rumahku dulu, biar kamu bisa ganti baju."


Zara mengangguk setuju, sementara Alex yang baru terbangun hanya bisa mengangguk lemah, masih setengah mengantuk. Mereka semua tahu, malam ini akan menjadi malam yang panjang dan penuh dengan misteri yang harus dipecahkan. Mereka tidak sadar bahwa mereka sedang menuju pertempuran yang lebih besar dengan kekuatan gelap yang bersembunyi di balik setiap sudut.


KASAM (Telah Diterbitkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang