Part 18

129 25 5
                                    

Mirah berdiri di tengah ruangan dengan napas terengah, matanya membulat penuh ketakutan saat ia melihat Mazaya, atau Tasia dalam wujudnya yang penuh dendam, menggenggam serpihan kaca yang berkilauan di bawah cahaya temaram lampu. Suara teriakan Alex yang menjerit kesakitan memenuhi ruangan, ditambah dengan suara tawa Mazaya yang mengerikan, menciptakan simfoni kegelapan. "Mazaya, lepaskan Alex! Kenapa kamu berubah menjadi jahat!" teriak Mirah, nada suaranya penuh dengan kemarahan dan ketidakpercayaan. Mazaya hanya tertawa sinis, meniru gaya bahasa Mirah dengan nada mengejek. "Mazaya lepaskan Alex! Kenapa kamu berubah menjadi jahat!" Dia meniru dengan sikap penuh kepalsuan yang membuat Mirah bergidik ngeri.

"Aku bukan Mazaya! Aku Tasia yang menitis jasadnya! Puas sekarang!" mata Tasia—yang terbalut oleh kemarahan—menatap tajam kepada Mirah. Zara dan Mirah hanya bisa tercengang, membeku dalam ketakutan saat mereka mendengar pengakuan yang menakutkan itu. "Semua perbuatan harus ada akibatnya! Benar begitu, sayang?" Mazaya berkata sambil membenturkan wajah Alex ke dinding dengan kekuatan yang begitu brutal, hingga tulang hidung Alex patah dan darah mengalir deras dari luka tersebut.

"Alex!!!" Mirah menjerit histeris, tangisnya menambah mencekam suasana."Sakit, sayang? Ini tidak sebanding dengan hatiku yang kamu hancurkan! Aku sadar sekarang, betapa bodohnya kamu ini!" Mazaya tertawa terbahak-bahak, suaranya menakutkan, penuh dengan kepuasan atas penderitaan yang ditimbulkannya. "Kamu berpaling dari aku dan selingkuh dengan pelacur itu. Dan bodohnya lagi, kamu bisa-bisanya bekerja sama dengannya untuk membunuhku agar kalian dapat bersama!!!" Mata Mazaya melotot penuh kebencian setelah pernyataan itu, mengeluarkan aura kematian yang menakutkan.

Ia berjalan pelan, seperti predator yang sedang menunggu mangsanya. Mazaya mengambil beberapa serpihan kaca besar yang tajam, benda-benda itu bersinar dingin di bawah cahaya lampu yang remang. "Mau apa kamu?" Alex mundur dengan ketakutan, menyandarkan bahunya ke dinding. Tubuhnya bergetar, dan matanya tak mampu mengalihkan pandangan dari serpihan kaca yang bersinar itu. Sementara itu, Mirah dan Zara tidak bisa bergerak, seolah tubuh mereka terkunci oleh aura negatif yang menyelimuti mereka. Mereka hanya bisa menyaksikan, terhimpit dalam tangisan yang tak bisa mereka tahan lagi. "Sssttt... tenang sayang. Kita mulainya pelan-pelan saja ya. Kamu mau kan lihat mantanmu ini bahagia. Jadi, ini tidak akan terlalu sakit," Mazaya berkata dengan nada menggoda, suaranya melengking dalam kegelapan.

"Lepaskan aku!" bentak Alex dengan amarah yang menyala, tetapi suaranya hanya menjadi bisikan yang tertelan oleh ketegangan.

"Tidak semudah itu, sayang!" Mazaya meraih serpihan kaca yang tajam dan mulai mengiris perlahan wajah Alex. Setiap goresan terasa seperti hukuman yang tak terkatakan, menembus dahi, pipi, hingga sepenuh wajah Alex. "Aaakh!!!" jeritan Alex menggema di seluruh ruangan, kesakitan yang luar biasa melanda tubuhnya. Darah mengalir deras dari luka-luka yang menganga, membasahi wajahnya dan membuatnya semakin mengerikan. "Cup... cup... cup... pedih sayangku? Haha... ini tidak sebanding dengan apa yang kamu lakukan terhadapku!" Mazaya tertawa sinis, kemudian mengalihkan perhatian ke Mirah dan Zara yang hanya bisa meratap dalam ketakutan.

"Mari kita istirahat dulu ya. Aku mau mengurus target yang lainnya. Hahaha..." Mazaya meletakkan Alex kembali ke posisi terbaring, namun kali ini dia menempelkan tubuhnya ke dinding dalam posisi terlentang, dengan rongga kakinya sedikit terbuka.

Mazaya berbalik dan mendekati Mirah, panggilannya terbalut dalam nada dramatis. "Mi...rah..." suaranya penuh dengan ancaman tersembunyi. "Apa kabar, pelacur?" Mazaya menghilangkan pengaruh gaibnya dari Mirah, memungkinkan gadis itu kembali bersuara. Mirah menatap Mazaya dengan marah, meludahinya dengan penuh kebencian. "Ciuhh!" Ludah itu menodai pipi Mazaya, namun Mazaya hanya menyeka dengan tenang, wajahnya menunjukkan amarah yang mendalam. Dia mencekik Mirah lebih keras, membangkitkan teriakan penuh penderitaan dari Mirah.

"Kurang ajar!!!" Mazaya membuang Mirah ke langit-langit ruangan dan dia jatuh ke lantai dengan keras. "Mirah!!!" Zara berteriak, melihat Mirah yang berdarah dari mulutnya. Alex hanya bisa menyaksikan dengan mata terbuka lebar, tubuhnya terasa lumpuh dalam ketidakberdayaan saat melihat kekasihnya dihajar habis-habisan oleh Mazaya. "Bangun kamu!" Mazaya menendang perut Mirah berulang kali, menyiksanya lebih jauh. Dia menarik rambutnya, mengangkat Mirah ke posisi duduk. "Bagaimana kalau kita mulai dengan memotong satu kaki dulu? Boleh ya?"

Mirah menggoyangkan kepalanya, menangis penuh penyesalan. Rasa sakit dan penyesalan menghancurkan dirinya, membanjiri pikirannya dengan kenangan buruk. "Jangan jatuhkan air mata buaya mu, Mirah! Karena ratapanmu itu tidak bisa mengubah keputusanku. Ingat kan? Seperti yang kamu lakukan padaku dulu!" Mazaya melepaskan rambut Mirah yang dari tadi dijambaknya dengan kasar.

Dengan tangan yang menjulur, Mazaya menarik sebuah kapak yang muncul dari kegelapan. Kapak itu berkilauan tajam, bau besi yang menyengat memenuhi ruangan. Mazaya mengacungkan kapak itu dengan penuh kebanggaan dan mengayunkannya ke arah kaki Mirah. "Aaaaa......" jeritan kesakitan Mirah menembus dinding luar ruangan. Rossa, yang menunggu di luar, tersenyum puas mendengarkan suara rintihan itu.

"Hahaha... hahaha... sakit sekali ya?" Mazaya bersikap sinis, memotong kaki Mirah menjadi beberapa bagian kecil. "Sepertinya daging kakimu yang telah kupotong-potong ini enak untuk dimasak. Begitu empuk, dan menggugah selera," katanya sambil melemparkan potongan daging kaki Mirah ke wajah Alex.

"Ambil itu! Makan sekarang! Habiskan!" Mazaya mengendalikan tangan Alex untuk mengambil sepotong daging kaki Mirah yang lebih besar dari yang lainnya. Alex berusaha menutup mulutnya rapat-rapat, tetapi kekuatan Mazaya lebih besar darinya. "Makan!" Perintah Mazaya memaksa mulut Alex terbuka dan menggigit daging kaki Mirah yang mentah dan berlumuran darah. Setiap kunyahan terasa seperti menyantap sisa-sisa kemanusiaan yang tersisa.

"Huaakk...." Zara, yang menyaksikan adegan itu, langsung muntah seketika.

"Haha... enak kan?" Mazaya merasa puas melihat Alex menangis, mulutnya penuh dengan darah bekas daging yang dimakan. "Cukup! Kita lanjutkan target selanjutnya," Mazaya memalingkan wajahnya, melirik Zara dengan dingin. "Seharusnya dari kemarin kamu sudah mati, Zara. Tapi semua itu justru gagal ketika mereka datang. Kamu ingat kan?" Dia membelai tangan Zara yang bergetar ketakutan.

"Jahannam! Bangsat! Biadab!" Zara mencaci dengan penuh kemarahan. Mazaya tersenyum tipis, matanya memutih dengan kebencian.

"Tajam sekali mulut kamu! Mari aku tumpulkan dulu!" Mazaya melototinya dengan penuh amarah.

"Dasar iblis!" bentak Zara, berusaha menampar Mazaya yang tangannya tiba-tiba terhenti. Mazaya menarik kapak dengan tangan kosongnya, mengendalikan Zara untuk menjulurkan lidahnya. Dengan satu gerakan, Mazaya memotong lidah Zara hingga dagingnya jatuh bersamaan dengan darah. "Ini lidah tajam yang aku inginkan dari dulu," Mazaya melemparkan daging lidah yang putus itu jauh-jauh, meninggalkan Zara dalam kesakitan.

"Aaakh!!! Kamu lebih baik mati saja!" Mazaya berteriak, dan dengan sekali tebasan kapak, leher Zara putus, darah memuncrat dan meluap ke seluruh ruangan. "Zara......!" Mirah berteriak, kehilangan sahabatnya. Mazaya menarik kepala Zara yang sudah putus, melemparnya ke dinding dengan penuh amarah. "Sudah! Tidak usah diratapi. Toh dia bakal mati juga nantinya! Lebih baik dia pergi sekarang! Daripada mulutnya yang tajam itu mengganggu permainan kita nanti," Mazaya mematahkan leher Zara.

KASAM (Telah Diterbitkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang