***
Cuplikan akhir bagian 1...
"Ada sesuatu yang kurang pada penghuni padukuhan yang tersebar ini ayah. Mereka kurang pengetahuan tentang bercocok tanam, atau mereka memang malas untuk mencari yang belum pernah mereka miliki"Ayahnya mengangguk-angguk. Sejenak ia masih memandang daerah yang luas dihadapannya. Namun iapun kemudian duduk disebelah anaknya yang masih saja berbaring. Bahkan oleh angina yang semilir, Swasti mulai dijalari oleh perasaan kantuk.
"Jangan tidur" desis ayahnya.
***
Swasti menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun dengan malasnya bangkit dan duduk pula bersandar sebatang pohon.
"Aku letih sekali ayah. Bagaimana kalau aku tidur barang sekejap?"
"Sebentar lagi senja akan menjadi gelap. Jangan tidur disaat-saat seperti ini. Tunggulah sampai gelap. Kita akan membuat perapian dan tidur bergantian"
Swasti menggeliat. Katanya, "Tetapi aku memerlukan air sekarang ayah."
"Kau sudah minum bukan? Di padukuhan lewat ujung bulak ini kita sudah mendapatkan belas kasihan dari seseorang yang sedang memetik kelapa. Kita mendapat air kelapa secukupnya" ayahnya berhenti sejenak, lalu "tetapi jika kau sudah mulai haus lagi, marilah. Kita mencari batang merambat. Aku aku memotong pangkal dan ujungnya. Dan kita akan mendapatkan air untuk minum"
"Ayah hanya memerlukan air untuk minum. Tetapi aku tidak"
Ayahnya menarik nafas dalam-dalam. Lalu, "Baiklah. Kita akan segera mencari air. Naluriku mengatakan, bahwa kita sudah dekat dengan mata air"
Swasti akan menjawab. Tetapi ia melihat ayahnya sedang memusatkan pendengarannya sambil menyentuh tanah dengan telapak tangannya. Karena itu Swasti tidak mengucapkan kata-katanya. Bahkan iapun kemudian berdiri dan melangkah untuk melihat-lihat keadaan disekitarnya.
Didalam hati Swasti masih juga selalu mengagumi ayahnya. Dengan melekatkan telapak tangannya ditanah, seolah-olah lewat jalur urat nadinya, getaran-getaran bumi terdengar oleh telinga batinnya. Sehingga dengan demikian ayahnya dapat mengetahui arah arus air dibawah batu-batu padas yang dalam.
Swasti berpaling ketika ayahnya memanggilnya.
"Swasti" berkata ayahnya, "rasa-rasanya kita sudah tidak jauh lagi dari sebuah mata air. Tetapi apakah kau tidak ingin beristirahat barang sejenak? Atau mungkin semalam ini? Besok pagi-pagi kita akan mencari mata air didaerah pebukitan ini"
"Kenapa tidak malam nanti ayah? Sekarang aku memang akan beristirahat. Mungkin aku memerlukan tidur sejenak, meskipun setelah malam menjadi gelap. Tengah malam kita melanjutkan perjalanan"
"Hutan ini belum pernah kita kenal" sahut ayahnya, "sebaiknya kita tidak memasukinya dimalam hari"
Swasti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Baiklah. Besok pagi-pagi kita melanjutkan perjalanan"
Perlahan-lahan gelap malam mulai turun menyelubungi bukit. Dengan batu titikan dan segumpal emput gelugut aren, ayah Swasti membuat api. Dengan dedaunan kering dan ranting-ranting yang berserakan, ia membuat perapian. Kemudian beberapa potong kayu diletakkannya pula diatas api.

KAMU SEDANG MEMBACA
Mata Air Di Bayangan Bukit
Historical FictionMata Air Di Bayangan Bukit Cerita silat lokal, jawa, fiksi sejarah Buah karya mendiang bopo Singgih Hadi Mintardja / SH Mintardja Mohon bersabar bila dirasa agak lambat update :) Vote & Comment ya, biar tetap semangat lanjut