(5) Jlitheng

885 27 4
                                    

***

Cuplikan akhir bagian 4...
Bagaimanapun juga Kiai Kanthi masih juga harus berhati-hati. Ia sadar bahwa anak muda itu tentu anak muda yang memiliki ilmu yang tinggi, sedangkan ia masih belum mengenalnya dengan baik, sehingga kemungkinan yang tidak diharapkannya masih saja dapat terjadi.

Tetapi agaknya anak muda itu benar-benar ingin menunjukkan mata air yang tersembunyi didalam hutan di bukit itu. Langkahnya tetap, seolah-olah tanpa berpaling. Sekali-kali mereka harus menyusuri celah-celah padas yang menanjak setinggi pepohonan. Namun sekali-kali mereka harus berloncatan dari batu-batu raksasa kebatu berikutnya.

***

"Apakah tidak ada jalan lain yang lebih baik ngger?" bertanya Kiai Kanthi.

Jlitheng menyahut tanpa berhenti, "Ada Kiai. Tetapi jalan itu panjang sekali. Kita dapat menyusuri sela-sela pepohonan. Jalannya memang lebih baik dari jalan yang kita tempuh sekarang. Tetapi kita akan terlalu lama mencapai mata air itu"

Kiai Kanthi tersenyum. Seakan-akan kepada diri sendiri ia berkata, "Kau cerdik anak muda. Bukankah kau ingin mengetahui, apakah anak gadisku mampu melakukan seperti yang kau lakukan sekarang"

"He?" tiba-tiba saja Jlitheng tertegun. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian ia berpaling sambil tertawa. "Kiai mempunyai tangkapan yang tajam sekali. Dan sekarang ternyata bahwa Swasti adalah seorang gadis yang luar biasa. Ia tidak saja mempunyai ketahanan tubuh yang melampaui kebanyakan orang, bahkan laki-laki sekalipun, yang ternyata dengan perjalanannya yang berat. Tetap ia pun, mampu melewati jalan ini. Ia mampu berloncatan dari batu ke batu. Menanjak tebing dalam gelapnya malam. Mendaki batu-batu padas yang licin oleh lumut hijau dan keseimbangan yang mantap"

"Ah" Swasti berdesis, "jika aku tahu, aku tidak mau"

Jlitheng tertawa semakin panjang. Katanya, "Tetapi semuanya sudah terjadi. Akulah yang akan dapat memanfaatkan pertemuan ini sebaik-baiknya. Jika Kiai bersedia, aku akan mencoba mempelajari ilmu yang tentu tersimpan tanpa batas di dalam diri Kiai"

"Ah" potong Kiai Kanthi, "jangan mengada-ada ngger. Aku sama sekali bukan orang yang kau maksud. Sekarang, marilah. Kita melanjutkan perjalanan"

Jlitheng menarik nafas panjang, ia pun kemudian mengangguk-angguk kecil. Tetapi tidak sepatah kata lagi keluar dari mulutnya.

Ketiga orang itupun kemudian melanjutkan perjalanan mereka. Kadang-kadang mereka mencuat dari hutan-hutan kecil lewat batu-batu padas. Namun kemudian mereka kembali memasuki hutan, berjalan diantara pepohonan, dan kadang kadang menyusup diantara sulur-sulur yang bergayutan.

Dalam gelap malam perjalanan mereka terasa tersendat-sendat. Langkah mereka menjadi lamban dan sempit. Meskipun mereka tetap maju menyusup semakin dalam.

Mata Air Di Bayangan BukitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang