(6) Jlitheng

524 12 9
                                    

***

Cuplikan akhir bagian 5...
"Mungkin memang ada Swasti, kita belum mengenal daerah ini baik-baik. Karena itu berhatihatilah"

Swasti tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian mengumpulkan seonggok rerumputan liar dibawah sebatang pohon. Kemudian dijatuhkannya dirinya, duduk sambil bersandar. Perlahan-lahan angin yang silir terasa bagaikan membelai jantung, sehingga akhirnya, sambil duduk iapun memejamkan matanya.

Ayahnyapun telah duduk didekatnya. Sejenak ia mengamati anak gadisnya. Dalam tidur nampak remang-remang di dalam kegelapan wajah gadis itu membayangkan beban yang berat menggantung dipundaknya.

***

"Kasihan" desis ayahnya. Bagamampun juga sebagai seorang ayah ia dapat merasakan betapa berat perasaan anak gadisnya mengikuti cara hidup yang dipilihnya. Kadang-kadang terngiang kata-kata Daruwerdi tentang masa depan anaknya itu.

"Kakek mementingkan diri sendiri" kata-kata itu bagaikan terdengar bergema direlung hatinya berulang-ulang. Kemudian, "Anak gadismu memerlukan masa depan sebagai seorang gadis sewajarnya"

"Ah" desah orang tua itu. Namun katanya kemudian didalam hati, seolah-olah ia telah mengucapkan janji. "Disini aku akan membuka sebuah padepokan. Aku akan berusaha memberi kesempatan agar Swasti dapat hidup sebagai seorang gadis sewajarnya, berkawan dengan gadis-gadis yang lain dari kedua kelompok padukuhan itu"

Kiai Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ia melihat wajah anaknya yang muram. Kemudian keningnya menegang, ketika ia mendengar Swasti didalam tidurnya berdesah panjang.

Ternyata bahwa malam segera sampai keujungnya. Langit menjadi merah. Sementara burung-burung liar berkicau bersahut-sahutan.

Swasti membuka matanya. Dilihatnya ayahnya masih duduk memeluk lutut.

"Ayah tidak beristirahat?" bertanya Swasti. Tetapi Swasti sendiri mengerti bahwa ayahnya tidak akan dapat tidur jika ia sendiri sedang tidur nyenyak.

Ayahnya justru bangkit sambil menggeliat. Katanya, "Aku sudah cukup beristirahat. Alangkah nyamannya pagi yang bakal datang. Kita akan melihat, apakah yang ada disekitar tempat ini"

Swastipun kemudan bangkit pula. Setelah membenahi rambutnya maka iapun berkata, "Kita akan mencari mata air itu ayah"

Keduanyapun kemudian berjalan menyibak lebatnya gerumbul-gerumbul diantara batang-batang pohon besar yang tumbuh dihutan yang pepat itu. Namun seolah-olah Kiai Kanthi memiliki penglihatan jauh melampaui wadagnya, sehingga ia pun dengan tepat telah memilih arah yang benar menuju kesebuah kolam yang airnya melimpah-limpah disegala musim.

Sejenak kedua orang itu termangu-mangu. Cahaya pagi sudah mulai menembus rimbunnya dedaunan hutan dan jatuh segumpal-segumpal diatas tanah yang lembab.

Dengan tegang keduanya memandang air yang jernih meskipun kotor oleh daun-daun kering yang berjatuhan, tertimbun didasar. Warna lumut yang hijau dan batang-batang kayu yang berpatahan silang melintang. Namun dengan mata wadag, keduanya dapat melihat betapa kelompok-kelompok ikan berenang dekat didasar kolam, menyusup diantara setimbun sampah dan dahan-dahan yang rontok kedalam kolam itu.

Di luar sadarnya Swasti berkata, "Tempat yang memungkinkan ayah. Kolam itu menyimpan ikan tidak terbilang banyaknya dari bermacam-macam jenis. Agaknya seperti yang dikatakan oleh Jlitheng. dihutan ini terdapat beberapa jenis pohon buah-buahan yang dapat dimakan"

Ayahnya mengangguk. Katanya, "Nampaknya kita menemukan tempat yang kita cari. Meskipun demikian, kita akan melihat barang satu dua hari. Apakah kita akan dapat membuka sebuah padepokan disini. Kita akan melihat, apakah hujan yang lebat tidak akan meruntuhkan tebing bukit itu dan menghancurkan lereng dibawahnya"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 02, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mata Air Di Bayangan BukitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang