(4) Jlitheng

683 20 2
                                    

***

Cuplikan akhir bagian 3...
Ayah Swasti menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia bertanya pula, "Apakah angger yakin bahwa tanpa pertolongan anak muda yang berani itu aku dapat menyelamatkan diriku sendiri?"

Anak muda itu tertawa. Namun kemudian sambil mengangguk hormat ia menjawab, "Kiai adalah seorang yang memiliki ilmu tiada taranya. Karena itu, seperti yang aku katakan, tingkah laku Daruwerdi adalah kesia-siaan dihadapan Kiai"

Ayah Swasti memandang anak gadisnya yang mengerutkan kening. Sekilas Swasti memandang anak muda dalam pakaian dan sikap yang sederhana itu. Tetapi ketika tiba-tiba saja anak muda itu juga memandangnya, maka dilemparkannya tatapan matanya kepepohonan yang kehitam-hitaman didalam kelamnya malam.

***

"Angger" berkata ayah Swasti kemudian, "di hari pertama kedatanganku didaerah ini, aku sudah dikejutkan oleh peristiwa-peristiwa yang semula diluar dugaanku. Ternyata di dua kelompok padukuhan yang dipimpin oleh dua orang buyut yang berbeda, meskipun mereka adalah saudara kembar, masing-masing dihuni anak muda yang memiliki ilmu yang tinggi. Meskipun kau tidak menunjukkan kemampuanmu seperti yang dilakukan oleh Daruwerdi, tetapi pengamatanmu atas keadaan kami telah menunjukkan bahwa angger adalah seorang anak muda yang luar biasa, yang tidak kalah tinggi ilmunya dari Daruwerdi"

"Ah" desis anak muda itu, "Kiai keliru. Aku hanya dapat melihat. Tetapi aku tidak dapat berbuat apa-apa"

"Jangan ingkar anak muda. Seperti anak muda dapat melihat keadaanku, maka akupun kini menyadari, siapakah yang ada dihadapanku"

Anak muda itu tersenyum. Katanya kemudian, "Daruwerdi memang seorang anak muda yang terlalu baik. Ia terdorong oleh keinginannya yang tidak terkendali untuk menolong seseorang, sehingga ia tidak melihat siapakah yang akan ditolongnya. Sementara aku adalah, seorang gembala yang tidak berarti, yang selain menggembalakan kambing, aku selalu tenggelam didalam lumpur"

Ayah Swasti mengangguk-angguk. Sambil tersenyum iapun menyahut, "Sungguh luar biasa. Daerah yang terpencil ini ternyata memiliki kemampuan yang mengagumkan. Angger apakah banyak anak-anak muda yang memiliki ilmu seperti angger Daruwerdi dan angger sendiri?"

Anak muda itu mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya, "Hanya seorang Kiai, Daruwerdi"

Orang tua itu masih saja tersenyum. Katanya, "Angger memang senang bergurau. Baiklah. Angger tentu mengetahui apa yang sudah aku ketahui tentang angger, seperti aku tahu apa yang angger ketahui tentang aku"

Ternyata bahwa anak muda itu memang banyak tertawa. Wajahnya nampak cerah, sedang jawabnyapun rancak. "Tepat Kiai. Dan karena itu pula aku tidak perlu bertanya, kemana Kiai akan pergi"

Orang tua itu bertambah heran. Dengan nada dalam dan ragu-ragu ia bertanya, "Kenapa angger tidak perlu bertanya, kemana kami akan pergi?"

Anak muda itu tertawa. Katanya, "Meskipun aku tidak pasti, tetapi aku dapat menduga. Bukankah Kiai berjalan menyusuri suara arus air dibawah tanah?"

"Ah" orang itu menegang sejenak.

Tetapi anak muda itu masih tetap tertawa dan meneruskan. "Kiai tentu ingin menemukan mata air yang menurut dugaan Kiai tersembunyi di dalam hutan dibayangan bukit ini"

Ayah Swasti mengangguk-angguk. Akhirnya ia menjawab, "Kami tidak ingkar ngger. Agaknya angger memiliki ketajaman penglihatan. Bukan saja penglihatan wadag yang telah melihat aku
dengan sengaja menyentuh pusat nadi anakku agar tidak menumbuhkan kecurigaain pada angger Daruwerdi. tetapi juga penglihatan perhitungan"

"Kiai tidak usah memuji. Aku kira itu bukannya suatu kelebihan. Bukankah wajar jika seorang perantau memerlukan tempat yang dapat dihuni? Salah satu syarat untuk sebuah padepokan adalah air"

Mata Air Di Bayangan BukitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang