Gue seharusnya pulang cepat hari ini. Gue ulangi seharusnya, tapi karena diskusi gue yang belum selesai juga dengan Rafandhan, mau ga mau gue harus ikut sama dia ke kafe Janji Jiwa.
Sebenernya gue ga begitu paham kenapa dia ngajak gue ke kafe, sedangkan soto Mang Asep lebih enak daripada ngopi gini. Ah, kalau aja sama Ridwan pasti udah nyoto disana.
"Gue ga setuju, masa iya gue yang sering pakai celana pendek tiba-tiba berhijab? Sehari doang juga, anjerlah!"
Ya jelas gue ga setuju ya, hijab itu bukan untuk main-main. Hijab itu komitmen. Lah ini, kan ada baju adat Aceh yang di peruntukkan wanita tidak berhijab, "lo kenapa dah daritadi ngegas banget? Pengen lihat gue pakai hijab?"
Rafandhan mendesah, "apa salah nya sih berhijab? Sunnah juga." Gue diam, tidak langsung menjawab, sebelum akhirnya gue memutuskan untuk menjawab nya dengan,
"Gue mau berhijab."
"Tapi, sebelum itu, gue mau benerin kelakuan gue dulu, gue ga mau hijab gue ternodai sama kelakuan gue itu," jawab gue yang membuat Rafandhan diam.
Ga tau juga sebenarnya diamnya tuh ga mau jawab atau ga bisa atau emang udah malem ngeladeni gue.
"Jadi," oh ternyata dia tadi diam lagi mikir. Gue menatapnya datar, tanpa ekspresi.
"Intinya lo itu belom siap?"
Gue mengangguk mantap.
"Tapi ya lagian, lo juga nanti bakal mati kan, emang malaikat bakal nunggu lo siap? Kalau malaikat kayak gitu, mana ada orang yang mati tiap hari."
Kali ini gue menyayukan mata, mendengar kata mati. Itu terlalu sensitif sama kehidupan gue.
Gue menghembuskan nafas, lantas menoleh ke arah jalan raya. "Lo lihat itu?" Tunjuk gue ke Rafandhan saat rintik-rintik hujan mulai turun.
"Anjer, hujan. Sialan gue ga bawa mantel."
"Yang kayak gitu maksud gue Ndhan!"
"He gimana-gimana?"
Yeu ni anak, bikin gue naik darah banget. Kadang Rafandhan ini bego nya dadakan, dan itu yang bikin dia rada ngeselin, bawaannya pengen nabok.
"Lo ga siap kan kalau hujan, makanya lo ga bawa mantel," ucap gue berusaha menjelaskan.
"Iyalah kalau gue siap, gue bakal ngomel," jawabnya sambil meminum kopi. Gue memerhatikan itu, tepat setelah dia meminum itu, gue bilang begini.
"Lo juga ga bakal siap kalau mati setelah lo minum kopi itu."
"UHUK! ANJER?!"
"Ihhhhh diem, di kafe!"
"Iya elo nya bikin gue kaget."
Gue berdecak malas, "dimananya sih yang bikin kaget, gue cuma tanya."
"Gini ya, kalau di tanya lo siap atau ga siap semua orang pasti ga siap untuk hal apapun itu, percaya sama gue. Lo mau nembak cewek pun, kalau lo ga siap juga lo bakal diam kan? Dan akhirnya cewek yang lo taksir jadian, terus lo galau. Hidup kita itu yang ngatur kita sendiri," kata gue dengan pelan.
Sebelum Rafandhan biacara, gue potong duluan, "gue dulu yang ngomong baru lo."
"Oke."
Gue mengangguk kan kepala. "Soal hijab, itu pilihan hidup. Pilihan gue masih ngambang, gue belum yakin, gue belum bisa jaga hijab gue, gini lho maksud nya, buat apa lo berhijab tapi cuma buat topeng? Sekarang banyak pelacur pakai hijab, pakai hijab saat sekolah, pergi enggak."
Rafandhan diam, dia terlihat serius dengan apa yang gue bicarakan. Memang lebih enak berdiskusi dengan Rafandhan yang memiliki pikiran kritis, enggak kayak Kalandra. Dia itu ya kalau ga bacot gaje ya tiba-tiba bucin.

KAMU SEDANG MEMBACA
11 IPS 1 ( TAMAT )
Teen Fiction[ S E L E S A I] Series of DC Highschool 11 IPS 1 bukanlah kelas yang banyak diceritakan seperti kelas-kelas lain. Kelas pojokan di koridor lantai dua ini seakan punya dunia sendiri. Dijuluki kelas aneh dan yang paling beda di seluruh penjuru DC Hi...