6 • E N A M

109 21 27
                                    

Sekuat-kuatnya lelaki, tetap saja dia juga manusia yang bisa merasakan sakit

•••

Setibanya di rumah, Gita melemparkan tasnya lalu membuang tubuhnya di atas sofa empuk yang berada di ruang keluarganya. Dia menyandarkan tubuhnya dan menidurkan kepalanya ke sandaran sofa tersebut. Devan yang melihat tingkah adiknya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Gimana sekolahnya? Sudah dapat teman baru?" tanya Devan sembari menyalakan televisi agar suasana tidak terlalu sunyi.

Gita yang sejak tadi memejamkan matanya kini melirik ke arah sumber suara itu sekilas. "Ya gini, capek."

"Capek kenapa? Bukannya semua sekolah itu sama saja, belajar doang, kan?" Devan menatap wajah Gita yang kembali memejamkan matanya.

"Iya sama-sama belajar, tapi temannya beda Kak," balas Gita dengan nada kesal.

Devan melempar bantal sofa yang berada di dekatnya ke arah Gita. "Yaelah, lo-nya aja yang gak tau cari teman."

Gita kaget lalu refleks membuka matanya. "Apa sih, Kak!"

Devan terkekeh geli melihat reaksi wajah Gita yang sangat kesal. Dia menatap tas milik adiknya itu yang dipenuhi dengan coretan tinta spidol.

"Ini tas lo?" tanya Devan sembari memperhatikan tas Gita yang dipegangnya. "Bukannya tas ini baru dibeli kemarin?"

Gita menghela nafasnya dengan kasar. Dia meraih tasnya yang dipegang oleh Devan. Tapi, dengan cepat Devan menempatkan tas itu ke belakangnya agar Gita tidak dapat mengambilnya.

"Lo harus kasih tahu ke gue dulu, tas lo kenapa bisa kayak gini?" tanya Devan menatap wajah Gita yang tambah kesal.

"Gak penting, Kak."

"Jangan bilang kalau lo di-bully, pasti karena cewe-cewe di sana iri sama kecantikan lo, kan?" tanya Devan yang mulai sok tahu.

Gita berhasil merampas kembali tasnya. "Aku bilang gak penting."

Gita melangkah keluar dari ruangan itu menuju ke kamarnya. Tapi, sebelum dia hilang di balik pintu, Devan berhasil menghentikan langkahnya.

"Temenin gue ke toko buku, nanti gue beliin tas baru deh," ucap Devan yang masih duduk di sofa.

Gita tidak membalas ucapan kakaknya itu, dia malah melanjutkan langkahnya. Buat apa juga dia beli tas baru kalau sudah buat kesepakatan dengan Elvano untuk memakai tasnya itu selama sebulan.

Devan yang tidak mendapat respon apapun kini ikut mengekor di belakang Gita.

"Gue mau beli buku buat kuliahan, masa lo gak mau temenin abang lo ini." Devan menghentikan langkahnya saat Gita juga menghentikan langkahnya.

Dia berbalik menatap Devan. "Bukannya udah disediain di tempat kuliahnya?"

"Iya ada juga yang disediain, tapi ada juga yang nggak. Temenin gue yah?" ucap Devan dengan penuh permohonan.

"Malas," balas Gita melanjutkan langkahnya dengan menaiki anak tangga satu per satu.

"Gue beliin lo novel." Kali ini tawaran Devan berhasil membuat Gita berbalik menatapnya lagi.

Bagaimana tidak? Gita ini sangat suka membaca novel, mau ditawarkan apapun kalau sogokannya dibeliin novel pastinya dia bakal terima.

"Serius?" tanyanya dengan nada yang bersemangat dan senyum yang lebar. "Tapi aku maunya dua novel, gimana?"

Devan memutar bola matanya karena sekarang dia sedang dimanfaatkan oleh adiknya sendiri. "Oke."

"Eh jangan dua deh, tiga aja yah, Kak?" Gita lagi-lagi memberi tawaran ke Devan, hitung-hitung dia bisa memanfaatkan situasi ini. "Yah... yah...."

ELVANO [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang