PROJECT

4.8K 726 14
                                    

Riri mematikan layar ponselnya dan menaruh ponsel pintarnya itu di atas nakas. Sekilas dia melirik ke dalam layar ponselnya lagi, bayangan CCTV tercetak jelas disana. Begitu mengangkat kepala, benar saja. CCTV.

"Penjara," batinnya.

Bahkan di dalam kamarnya pun ada CCTV. Satu-satunya tempat yang bebas dari CCTV adalah toilet.

Musholla saja memiliki CCTV, dan itu membuat para ajudan yang menempati kamar belakang suka ketar-ketir. Semalas apa pun mereka dalam shalat, tetap saja wajib melaksanakannya selama satu atap dengan Danrem Wirasakti.

Iring-iringan mobil Danrem mulai masuk ke dalam kawasan puri wirasakti. Daniel langsung sigap membuka pintu mobil dan Hartanto keluar dengan ekspresi datar.

"Riri udah pulang?" tanyanya ke arah Sarwo yang baru saja selesai memasang sikap hormat di pintu rumah.

"Siap. Sudah, Ndan!"

"Bilang sama dia, atur jadwal untuk les apa pun yang dia mau. Waktu itu harus dipakai buat hal-hal yang bermanfaat, kalau enggak, pasti akan disibukkan dengan hal yang buruk." Pria paruh baya itu menggenggam pundak Sarwo. "Anak muda ditambah waktu luang yang kebanyakan sama dengan hancur," bisiknya tepat di telinga Sarwo sebelum berlalu ke dalam rumah.

Bukan tanpa alasan Sarwo dibebani tugas-tugas seputar Riri, karena Sarwo memang orang kepercayaan Hartanto sejak anak-anak Hartanto masih kecil.

Sarwo dan istrinya yang bertugas mendidik anak-anak Jenderal bintang satu itu. Perintah Sarwo dan istrinya wajib di dengar oleh ketiga anak Hartanto.

"Aditya?" panggil Sarwo.

Pria yang baru akan mengambil minum di dapur itu menoleh. "Siap, Pak."

"Kamu tolong panggilin Riri di kamarnya."

"Siap."

Aditya langsung berlari ke arah kamar tengah dan mengetuk pintu putih itu. "Ri?"

Seketika Riri yang masih mondar-mandir di kamarnya langsung memandangi pintu. Sebenarnya dia masih mencari cara untuk mengetahui bagaimana kompleksnya penjagaan di rumah Danrem.

Mengingat saat pulang tadi, dia tak sengaja mendengar Fania membahas tentang belajar kelompok di rumah teman. Akan sangat menarik kalau dia juga bisa melakukan itu, pikirnya.

Tokkk tokkkk tokkkkk

"Ri?" panggil Aditya lagi, tepat saat Riri juga tersenyum karena menemukan ide.

***

"Jadi kamu mau guru ngaji?" tanya Sarwo sambil menatap tajam ke arah Riri yang duduk di seberang meja.

"Iya, Om," jawab Riri dengan kaku.

Dia dan saudara-saudaranya paling tahu, Sarwo lebih kejam daripada Hartanto.

"Mau yang gimana?"

"Perempuan dan harus hafal Al-Qur'an. Aku mau setoran hafalanku, Om."

Sarwo angguk-angguk kepala. "Okay, sebenarnya agak sulit menemukan penghafal Al-Qur'an disini. Sangat jarang. Kamu tahu kan, NTT adalah salah satu provinsi minoritas Muslim?"

"Tahu, Om." Riri menunduk agak takut.

"Tapi kamu tunggu sebentar, biar saya hubungi Ibu Dandim."

Tak lama senyum Riri terbit. "Terima kasih, Om."

"Sama-sama."

Tepat selesai shalat Maghrib, Riri langsung mengintip dari balik gorden kamarnya. Benar saja, sudah ada cahaya dari tiga motor matic yang akan memasuki kawasan puri wirasakti. Tampak dua orang wanita paruh baya tanpa hijab dan satu orang wanita paruh baya berhijab dengan gamis hitam dan jilbab merah maroon. Sudah bisa dipastikan, itu Ustadzahnya.

MISI Z (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang