RUMAH PAPA

7.3K 911 40
                                    

"Kamu tuh, ya, Papa tuh nyuruh kamu sekolah bukan pacaran. Lagipula, apa sih hebatnya Lukman itu sampai kamu mau-maunya jadi pacar dia?" omel Hartanto.

Pria paruh baya itu bahkan masih mengenakan baju dinas militernya. Baru saja tiba di kota Kupang setelah dinas bersama petinggi TNI lainnya di Bali.

Riri juga masih duduk termenung di hadapan Papanya itu dengan ekspresi orang yang sudah tak ada semangat hidup. Kopernya bahkan masih nongkrong tepat di sampingnya. Baru tiba setengah jam yang lalu dan sudah kenyang dengan omelan sang Jenderal bintang satu itu.

"Jawab!" bentak Hartanto. "Apa hebatnya Lukman? Gara-gara dia putranya Gubernur Jateng?" tanyanya dengan wajah memerah penuh amarah. "Anak zaman sekarang tuh, ya, cuma taunya banggain prestasi orang tua padahal dia sendiri ... nothing!"

"Very boring life. Ada apa dengan hidup?" batin Riri sebelum memutar bola mata malas. Perasaan dia tidak pernah bawa-bawa nama Ayahnya, pikirnya.

Sudah dituduh dan dihakimi serta dikeluarkan dari Al-Ghuroba untuk kesalahan yang tidak pernah dilakukannya, dan sekarang dihakimi pula oleh Papanya tanpa ada kesempatan menjelaskan. Sudah pasti kasusnya ini akan menyebar ke satu keluarga sebagai kecacatan yang tak patut di contoh.

Dan Ibunya yang masih lengkap dengan seragam Persit di sebelah Ayahnya tetap tak mau tahu. Asyik memainkan ponsel pintarnya sambil berkata, "Dengerin tuh, apa kata Papa kamu!"

Seakan-akan menegaskan peraturan keluarga Gentar Alam. Satu, Papa selalu benar. Dua, Mama selalu mendukung. Tiga, kalau Papa salah, kembali ke peraturan satu dan dua.

"Lapor Ndan, baju untuk makan malam bersama Gubernur sudah siap," lapor Daniel. Salah satu ajudan Danrem.

Hartanto menoleh ke arah Daniel yang masih memasang wajah sangar itu. "Kamu tolong panggilin Aditya!"

"Siap, Ndan!"

Tak lama Riri menoleh dengan wajah malas, begitu seorang pria bertubuh tegap dengan kulit sawo matang, sudah datang dari pintu menggunakan seragam loreng lengkap dengan baret hijau.

"Siap!" Dia langsung memasang sikap hormat terlebih dahulu.

Hartanto malah beralih ke arah putrinya dengan wajah kesal. "Mulai sekarang, kamu akan diawasi ketat sama Aditya. Kemana-mana sama Aditya. Dan karena kamu keberatan sekolah di sekolah mewah, Papa bakal pindahin kamu ke sekolah negeri disini. Biar kamu tahu, kalau hidup itu enggak cuma makan, sekolah, dan minta uang," ujarnya dengan kata-kata yang terkesan kejam.

Riri saja sampai membendung air mata. Sakit hati dan merasa tidak berguna.

Pria paruh baya di hadapannya beralih lagi ke arah pria muda berwajah tirus dengan name tag, "Aditya" itu. "Mulai sekarang, kamu tidak usah mengawal saya, tapi menjaga Riri. Biar tugas kamu diganti oleh Daniel."

"Siap, Ndan!"

Hartanto langsung berlalu ke arah kamar bersama istrinya yang kelihatan masih kecapekan karena mengikuti kesibukan suaminya itu.

Begitu sang danrem sudah tak terlihat, Aditya langsung melipat tangan di dada dengan wajah sangar. "Riri? Mulai sekarang kamu akan dikawal terus oleh Sersan Satu Aditya Rafif." Nada suaranya sangat tegas. Gayanya sudah persis Hartanto saja. Riri makin menunduk dalam.

Tak sampai disitu, pria itu mulai maju dan mengelilingi anak Danrem seperti sedang mengelilingi tawanan. "Peraturan pertama, panggil saya, Aditya, Adit atau Rafif. Jangan panggil Om apalagi Fifin. Memangnya saya ini, apa? Hah? Apa?" matanya melotot.

"Hahhh?" Riri sampai menganga. Tak paham.

"Umur saya tidak jauh-jauh beda lah dengan kamu, biasa 26. Jadi kamu boleh naksir saya. Masih jomlo, kok."

Riri tepuk jidat.

Untuk beberapa saat pikiran gadis itu bertanya-tanya, apa ada produk gagal dari Pendidikan Bintara? Karena setahu dia, semua yang berkarir di militer itu sifatnya selalu sangar, serius, berwibawa, kalem, dan semacamnya, tapi hari ini dia tau, ada juga yang tidak. Aditya bukti hidupnya.

Riri sampai tidak berkedip melihatnya dengan mulut terbuka.

Aditya malah makin menjadi. "Saya itu orang paling ganteng di puri yang berada di samping Bank Bukopin dan di samping plakat penginapan Dian Astra ini, sekaligus paling terkenal satu asrama tentara. Memang saya tahu itu kok," ucapnya dengan ekspresi serius dan teramat meyakinkan. "Tapi kamu tolong dong, biasa aja lihatnya!" Kedua alisnya naik turun.

Apa-apaan ini? Pikir Riri.

"OKAY, RIRI? APAKAH SUDAH SIAP MENTAL DAN FISIK KAMU UNTUK DITEMPA DALAM PENDIDIKAN INI?" teriaknya garang membuat Riri mendengar seribu jangkrik berteriak di lubang telinganya di tengah keheningan malam.

Sarwo orang kepercayaan Dandrem saja sampai menoleh dari pintu dapur. "Buat apa itu?" Nadanya tak bersahabat.

"SIAP, SALAH!"

Dan Aditya sudah turun untuk push up sepuluh kali sampai Sarwo kembali kepada aktivitasnya.

"Kamu jangan ngetawain saya, ya, ini itu cuma pemanasan." Aditya membela harga dirinya yang hampir tercabik-cabik.

Riri malah tidak tau harus bicara apa. Cuma bisa membuka mulut saat menyaksikan drama.

"Oh, iya, cita-cita saya itu jadi Bapak kamu."

"What?" Muka Riri sampai merengut hebat.

"Ekhem." Aditya membenarkan suara. "Maksudnya, jadi seperti Bapak kamu. Noh!" tunjuknya pada foto di dinding. Foto para anggota Kopassus yang diambil dari udara, sedang berbaris berjejer di lapangan utama markas mereka di Cijantung membentuk formasi pisau Komando.

"Itu foto Papa waktu muda," jelas Riri.

"Saya juga tahu." Aditya sewot. "Dulu saya maunya jadi Kopassus, tapi gagal seleksi terus," curhatnya.

"Ya-ya iya, anggota Kopassus itu tidak ada yang cerewet. Kalau kebanyakan bicara, ditembak teroris."

Aditya sontak memandangnya dengan mata menyipit. "Sok tahu!"

Riri malah berekspresi datar. "Lagian, Pak Aditya itu ...."

Cekrek

Riri sampai berhenti bicara dengan mulut terbuka. Rupanya si Aditya sialan itu main berfoto dengannya saat dia sedang berbicara yang otomatis mulutnya sedang terbuka.

"Wihhh." Pria itu mengangumi mukanya sendiri. "Saya tag kamu, ya? Ig kamu, apa?"

Riri sampai ingin memukul kepalanya dengan sepatu. "Tolong dihapus! Saya tidak pernah pasang foto di sosmed manapun," tegasnya.

Aditya justru menoleh dengan wajah heran. "Serius? Kenapa? Kurang gaul sekali, ya, Ente," cibirnya bikin sakit hati.

Riri menggeleng. "Bukan, Pak. Saya memegang prinsip yang tidak bisa saya langgar."

Aditya malah mengerutkan dahi. "Prinsip? Prinsip, what?"

"Keputusan ulama untuk wanita tidak memajang foto di sosmed," tegas Riri.

Mulut Aditya sontak membentuk huruf 'O'. sebenarnya dia tak paham.

"Okay, Riri, sampai ketemu besok. BYE!" Pria itu berlalu dengan santai.

Benar-benar tidak ada wibawa sama sekali. Riri sampai memukul jidat dan geleng-geleng memandangi punggungnya.

"VERY BORING LIFE!" batinnya.

MISI Z (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang