DI BALIK BOSAN

5.1K 732 8
                                    

"WAKTU ISTIRAHAT DIMULAI."

Bel istirahat. Bel paling ditunggu yang mengakhiri masa tahanan para siswa untuk sementara waktu.

Geri, si ketua kelas XII IPA 4, bangkit dari tempat duduknya yang paling depan dan berjalan menuju Riri yang baru saja membereskan bukunya.

Aditya yang sedang minum pop ice langsung waspada dan mendekat.

"Maaf, Riri?"

Riri mendongkak. "Iya?"

Pria berwajah oval dengan kulit sawo matang itu sudah menyodorkan tangan lebih dulu. "B punya nama, Geri (Nama saya, Geri)," katanya dengan senyum tipis.

Riri masih mengerutkan dahi. Bingung dengan bahasa pria itu. "Maksudnya?"

"Maksudnya itu, dia ajak kamu perkenalan. Namanya, Geri." Aditya menerjemahkan sambil melirik Geri dengan tatapan sangar.

Yang dilirik malah garuk-garuk kepala seperti sedang ditatap singa sekolah. Guru BK.

Mulut Riri langsung membentuk huruf 'O', sebelum menyatukan kedua tangan di dada. Isyarat tak bersalaman secara sembarangan. "Maaf, saya baru di Kota Kupang. Jadi belum terlalu paham bahasanya, tapi Insyaallah lama kelamaan paham."

Geri langsung paham dan menarik tangannya dengan senyum lebar. "Tidak apa-apa. Biar saya sesuaikan saja bahasa saya dengan kau punya bahasa."

"Oh ... okay," balas Riri kikuk.

Aditya masih bersiul-siul sambil melirik-lirik Geri. Seakan-akan satu makhluk di hadapannya itu adalah teroris dari tengah hutan yang sedang menyamar.

"Sudah belum?" tanya Aditya dengan galak.

Geri tambah garuk-garuk kepala yang tak berketombe. "Itu ... setiap bulan kami ada masak bersama. Kalau kau mau, kita bisa sama-sama di-"

"Stop it!" potong Aditya langsung mendorong pelan dada Geri agar menjauh setelah membuka kaca mata hitamnya. "Itu wajib? Berapa dana yang dibutuhkan? Kami akan bayar semua, tapi maaf, Riri tidak bisa ikut," tegasnya.

Riri langsung menghela napas jengah sebelum menenggelamkan kepala di lipatan tangan. "Ada apa dengan hidup? Membosankan," batinnya.

Geri malah agak heran. "Tidak wajib, Pak. Kami lakukan pas hari-"

"Stop! Stop! Stop!" sela Aditya lagi. "Kamu tau kenapa saya ada disini?"

Geri menggeleng. "Tidak tahu, Pak."

"Saya ajudan Danrem. Dan itu,"-Aditya berbalik sambil menunjuk Riri dengan kaca matanya-"putrinya Danrem. Tahu Korem? Dekat GOR Oepoi. Komandannya adalah Jenderal Hartanto Gentar Alam. Ayah dari Riri. Paham?"

Untuk beberapa saat Geri terdiam sebelum mengangguk. "Paham, Pak."

Seumur hidupnya, baru kali ini dia satu sekolah dengan anak petinggi militer.

"Jadi Riri tidak bisa keluar sembarangan. Kalau kelas punya kegiatan, mau masak, mau wisata, etc, bilang biayanya. Riri bayar lebih, tapi maaf dia tidak akan ikut," tegas Aditya sebelum kembali berbalik ke arah gadis di belakangnya. "Ayo, Ri, kita ke kantin!"

Riri bangkit dan langsung berlalu dengan wajah dingin tanpa menoleh sedikitpun ke arah Geri, yang masih heran memandang punggungnya sampai menghilang di pintu kelas.

1

2

3

"Anaknya Komandan Korem," bisiknya yang mampu menyebar ke seluruh penduduk kelas hanya dalam waktu satu menit.

"Kenapa hidup ini jadi lebih membosankan?" batin Riri.

Gadis itu tengah berjalan di koridor IPA didampingi Aditya yang tetap mengawasi sekitar dengan fokus.

Sekolah ini lumayan luas, pikirnya. Tidak bertingkat, tapi dibuat luas dalam satu kawasan. Seperti puri wirasakti yang didiaminya dan kedua orangtuanya. Dibuat luas dalam satu kawasan dengan fasilitas super lengkap agar penghuninya tak boleh keluar secara sembarangan, dan orang luar tak boleh masuk secara sembarangan. Makanya itu, Riri lebih suka menyebut rumah dinas Papanya dengan sebutan penjara.

Mungkin itu juga yang membuat Kakaknya Zaskia memilih masuk asrama Al-Ghuroba setelah tamat SD, dan mati-matian ingin kos saat kuliah. Sedangkan Adik laki-lakinya yang masih duduk di kelas sepuluh, Fahri juga memilih pindah ke rumah Kakek dan Neneknya di Semarang sejak tamat SD. Menghindar dari orangtua kalau ingin hidup bahagia.

"Di sekolah ini kayaknya cuma kamu yang pakai jilbab lebar, Ri," celetuk Aditya melirik gadis itu.

Riri mengangguk dengan ekspresi seperti biasa. "Saya juga sudah sadari itu sejak tadi, Pak. Di kelas juga tidak ada yang memakai kerudung, kalaupun ada di kelas lain pasti yang hijab paris seadanya."

"Kamu kenapa tidak pakai hijab yang modis saja?" Aditya mendadak penasaran.

Sekilas Riri terdiam sambil menatap ke depan sebelum tersenyum tipis. "Pakai jilbab karena disuruh orangtua, peraturan sekolah, dan karena tahu ilmunya itu beda, Pak."

"Beda apanya?"

"Ya, beda. Kalau tau ilmunya, ya, Insyaallah bertahan. Mau diejek, dicibir karena cuma seorang diri yang pakai, tidak masalah. Karena dia tahu, pertanggungjawabannya sama Allah Ta'ala yang Maha Melihat, bukan pihak-pihak tertentu. Beda kalau cuma karena tuntutan orangtua, sekolah, pekerjaan, dan lainnya."

Aditya mengulum bibirnya sambil mengangguk. "Okay, paham."

Agak lama mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing sebelum Aditya melirik anak atasannya itu lagi. "Kamu punya teman di sekolah lama? Seperti teman dekat atau-"

"Teman?" sela Riri dengan ekspresi heran. "Saya tidak paham dengan kosa kata teman, Pak. Sepertinya saya memang dilahirkan untuk tidak mengerti soal itu."

Aditya malah tambah heran. Dari semalam dia pikir, Riri sedih keluar dari Al-Ghuroba karena berpisah dengan teman-temannya. "Serius? Kamu tidak punya teman?"

Riri memilih diam saja.

Sepertinya Aditya sudah mendapatkan jawabannya. "Kamu tidak kesepian? Kayak membosankan sekali ya hidup kamu?" cibir Aditya seenak jidat.

Riri langsung tertawa terpaksa. Baru kali ini Aditya sadar kalau Riri juga bisa tertawa.

Gadis itu berhenti sejenak sebelum menoleh ke arahnya. "Bilang itu pada selain putri Danrem, yang dihukum Papanya dengan diawasi oleh ajudan secara ketat.

"Yang pasti, terlalu berlebihan bagi saya untuk mengatakan hidup ini tidak adil, tapi kalau saja orang lain mau mendengarkan kita walaupun satu menit. Kita juga ingin bercerita, betapa membosankannya hidup ini," ucapnya sebelum lagi-lagi tertawa terpaksa dan berlalu begitu saja.

Aditya sempat menatap punggungnya yang sudah berlalu lebih dulu. Pria itu baru sadar kalau tindakannya pada tawaran Geri itu bisa jadi membuat hati Riri terluka.

Akhirnya dia peka.

MISI Z (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang