(1)

13 5 0
                                    

“Ranti ini gimana sih caranya?” Atika menggaruk kepalanya yang tidak gatal dengan wajah yang terlihat kesal.

“Ya ampun tik, kenapa sih lo gak ngerti ngerti? Sampai kesel gue ngajarinnya” omelanku membuat wajah Atika semakin kesal lalu ia mengacak acak rambutnya hingga berantakan seperti orang frustasi, ya saat ini dia memang sedang frustasi karena otaknya sedang bergulat dengan beribu angka yang terlihat berantakan di dalam kepalanya.

“Soal yang ini sama caranya kayak soal yang nomor enam tadi” ucapku menunjuk buku yang berisi kumpulan soal matematika tersebut. Atika kembali mengerjakan soal itu dengan wajah yang serius.

Atika ialah satu satunya teman yang mampu membawaku naik kembali dari kejadian yang membuatku sangat terpuruk seperti pada saat ayahku meninggal saat aku menginjak kelas 3 SMP. Masa masa terakhir yang harusnya menjadi saat bahagiaku karena aku akan menjadi anak SMA malah terbalik menjadi kesedihan yang amat mendalam bagiku.

Jika saja pada saat itu Atika tak bisa menghiburku mungkin saja aku tak mau mengikuti UN dan tak mungkin aku menjadi seperti saat ini yang sudah menjalani hidup biasa dan menjadi murid SMA yang bahagia.

“Coba lu periksa ti udah bener apa belum” Atika menyodorkan buku yang sudah penuh dengan coretan ke hadapanku. Tak mau membuang waktu ku periksa semua yang dikerjakan Atika dan kembali menyodorkan buku itu kearahnya.

“Udah bener tapi gak perlu lu terusin lagi, capek gue, laper, pengen makan” tanpa basa basi Atika langsung menutup bukunya dengan wajah sumringah dan menarik ku menuju kantin.

“Bu nasi pake ayam semurnya dua” ucap Atika kemudian kembali menarikku kearah kursi yang kosong.

“Tenang, kali ini gue yang bayarin, karena lo udah sabar ngajarin gue” aku hanya mengangguk mendengar ucapan sahabat terbaik ku ini. Ya dia pantas ku sebut dengan gelar sahabat terbaik.

   Awalnya aku tak mengerti harus kepada siapa aku memberikan gelar ini, dan aku tak tau harus bagaimana sikap seseorang itu untuk mendapatkan gelar tersebut. Akhirnya, lambat laun aku mengerti bahwa gelar itu diberikan kepada orang yang sudah mengenalmu, mengetahui sikap baik dan buruk mu, lalu ia mengerti seluk beluk kehidupanmu, dan yang paling penting ia tak meninggalkanmu saat kau membutuhkannya.

   Dengan memberikan gelar itu, maka kau juga harus mendapat gelar itu yakni melakukan hal yang sama. Orang yang memberikan gelar itu kepadaku adalah Atika, dia orang yang saat ini sedang duduk dihadapanku. Aku bersyukur bisa bertemu dengannya.

      Praaangg..

Suara pecahan piring mengejutkan seisi kantin yang sebelumnya riuh menjadi hening seketika, mata ku mencari dari mana asal suara itu kemudian terhenti pada seorang lelaki setengah jongkok membantu perempuan penyebab munculnya suara piring pecah itu, ia sedang membersihkan serpihan piring yang berserakan. Aku tersenyum kecil namun juga merasa sesak, dia memang baik ke semua orang, dia orang yang mudah bergaul dengan yang lain.

Dialah lelaki yang memunculkan kisah percintaan di masa SMA ku. Aura pesonanya itu membuatku jatuh cinta. Sepengetahuanku dia bukan lah orang yang memilih milih untuk berteman, aku mengenalnya karena kelasnya tepat berada disebelah kelasku dan juga dia teman Atika.

       Rendi, nama orang yang ku sukai menjadi teman satu ekskul Atika yang menurutku keduanya bisa dibilang cukup dekat. Atika selalu membantuku mencari informasi tentangnya, ia mendukungku tapi ia tak memaksaku untuk mengungkapkan perasaanku kepada lelaki itu. Tapi dia sering mengingatkanku jika aku terus menerus begini maka masa percintaan SMA ku akan menjadi masa yang kelam.

      Tapi bagi seorang wanita sangat gengsi jika ia lebih dulu mengungkapkan perasaannya kepada sepada seorang pria. Ya begitu lah aku, gengsi ku yang lebih besar hingga dapat mengalahkan perasaanku. Terlebih lagi jika aku menyatakannya aku tak tau jawaban apa yang akan diberikannya karena aku memang tak tau bagaimana perasaannya. Jika ia menerimanya aku bersyukur namun jika ia menolaknya? Aku tak ingin mengambil resiko lalu malu dan menjadi sorotan orang orang yang ada disekolahku karena menyukai artis sekolah.

Orang bilang masa yang paling indah saat SMA adalah masa dimana kita jatuh cinta namun lain halnya denganku, aku hanya bisa mencintainya dalam diam karena tak berani mengungkapkannya dan mungkin dia hanya mengenalku sebatas teman Atika dan orang berprestasi karena aku sering dipanggil kedepan semua orang karena setiap semester aku selalu menjadi juara umum.

“Ti ada Rendi tuh” ucap Atika menyenggol bahuku.
“Trus kalo Rendi kenapa?” aku mencoba cuek namun aku merasa cemburu ketika Rendi membantu perempuan itu, ya tak dapat dipungkiri Rendi itu orang yang baik. Aku tak punya kehendak untuk melarangnya karena dia bukan lah milikku.

Dari sekian banyaknya orang, kenapa harus Rendi sih yang bantuin dia? -Batinku dalam hati

“Capek gue ngurusin percintaan lu ti”
“Ya udah lah gak perlu diurusin” wajahku masih datar menatap Rendi yang pergi berlalu setelah selesai membantu perempuan tadi. Pandanganku terpecah saat pesanan kami datang dan dengan lahap aku memakannya dengan emosi yang tertahan.

Arga dan RantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang