04 | Rencana Jahat

41 5 0
                                    

Lelaki gemuk itu melangkah cepat setengah berlari menyusuri lorong kediaman keluarga Riddle. Berdebu, penuh sarang laba-laba serta kotoran hewan-ewan pengerat. Seluruh lukisan sudah robek dan hancur. Tubuhnya mengigil begitu merasakan udara malam memasuki ruangan dari balik sela kaca jendela yang pecah. Tak jarang ia menginjak serpihan yang berserakan di lantai, membuat suara gesekan mengerikan terus menemaninya di setiap langkah yang ia ambil. 

Selama perjalanan, tak jarang mulutnya mengeluarkan suara eratan. Bertahun-tahun ia menghabiskan waktu menjadi tikus, semuanya seperti sudah menjadi bagian dari dirinya.

Langkahnya berhenti didepan pintu hitam besar bergagang emas. Tangannya sedikit gemetar, namun ketakutannya dapat ia kendalikan. Satu tarikkan nafas lalu ia ketuk pintu di hadapannya dengan tangan besinya.

Ia menunggu beberapa saat begitu membuka pintu dihadapannya. "My Lord.."

"Wormtail.. Kau sudah menjalankan tugasmu?" Suara serak itu menggelitik ditelinganya.

Ruangan sangat gelap. Hanya ada perapian yang mampu memberi penerangan. Voldemort tengah duduk diatas sofa tua bermotif bunga hijau diatasnya. Menghangatkan apa yang tersisa pada tubuh dari dinginnya malam.

"Iya, My Lord." Laki-laki itu meraih tas kecil di pinggulnya, lalu merogok dalam hingga tangannya meraih sebuah buku tua yang cukup berat. Memiliki sampul kulit naga hitam, membuatnya tahan api. Dan di tengahnya dibubuhkan tinta emas menggamarkan simbol keluarga Lestrange.

Wormtail menyerahkan bukunya ke tangan Voldemort. Tangannya sangat putih, pucat, dan kurus. Awalnya dia mengira tangan itu terlalu rapuh untuk hanya sekedar menggenggam buku berat ini.

"Bagus.." Suara mengerikan itu mampu mendebarkan hati Wormtail. Sebuah pujian yang sudah Wormtail nantikan.

Sebelum Voldemort membuka bukunya, ia berdiri. "Kau sudah mengirim pesanku pada.. Lucius?" Suaranya terdengar sangat lambat dan kering. Wormtail ingin menawarkan segelas air untunya, namun terlalu takut untuk bertanya.

"Y-ya, My Lord. Aku sudah mengirimkan pesannya." Balas Wormtail seraya menunggu perintah Voldemort berikutnya. Namun perintah itu tidak kunjung datang, membuatnya berdiri seperti patung didepan pintu. Voldemort sedikit jengkel dibuatnya.

"Tugasmu sudah selesai, Wormtail. Sekarang pergilah."

"T-terima kasih, My Lord. Aku ak-" Voldemort mengayunkan tongkatnya, membuat Wormtail terdorong keluar ruangan dengan pintu yang langsung tertutup rapat.

Sekarang suasana kembali dingin walaupun api perapian masih menyala. Voldemort menghirup nafas dalam, lalu membuka halaman buku pertama. "Aster Lestrange." Ucapnya dengan lantang dan jelas.

Dengan cepat, buku itu membuka halaman dimana foto wajah anak kecil tersenyum lebar kearah kamera. Anak itu satu-satunya yang melukiskan senyuman di dalam buku, tidak seperti foto potret Lestrange yang lainnya.

Usianya masih satu tahun. Merangkak mengenakan jubah kecil dengan wajah yang sedikit terhalangi rambutnya sendiri.

Voldemort mengusap tangannya keatas foto pipi Aster. Gadis itu tertawa, mau bagaimanapun Bellatrix memakinya, gadis itu terus tersenyum dan tertawa. Sebuah kutukan bagi Bellatrix, namun itu suatu hal yang sangat menghibur untuk di tonton oleh Voldemort.

"Dimana kau.." Bisiknya.

Disaat yang bersamaan, terdengar ketukan dari balik pintu. Tak lama muncul sesosok lelaki tampan berambut platina panjang tersisir rapih. Lucius Malfoy muncul dengan nafas sedikit terengah-engah namun tetap menjaga ekspresi wajah dinginnya.

"My Lord. Aku berusaha datang secepat yang ku bisa.." Lucius menundukkan pandangannya.

Voldemort menutup bukunya. Muncul jeda beberapa saat hingga Voldemort menghadap pada Lucius. "Lucius. Aku mendengarnya. Ketiga orang itu gagal." Raut wajah Lucius memucat.

"I-iya, My Lord. Mereka telah mengecewakan mu. Keluarga Hermes memang tidak becus. Tiga-tiganya tertangkap oleh-"

Mata Voldemort tiba-tiba menyala. "Oleh siapa, Lucius?"

"Arthur Weasley, My Lord."

Voldemort tertawa. "Weasley? Tiga orang pelahap maut ditangkap oleh seorang Weasley?"

"Weasley itu menjaga departemen misteri saat itu, My Lord. Dia memanggil beberapa auror-"

"Beberapa? Lucius. Apa kau bercanda?!" Kali ini Voldemort meluapkan emosinya. Api perapian membesar, membuat Lucius kaget dan takut.

Lucius menelan ludahnya. "M-my Lord.." Kaki Lucius yang gemetar terasa lemas begitu menyadari Nagini berjalan kearahnya. Ular itu mengeluarkan suara desisan dengan kepala yang terpaku pada Lucius, seakan-akan dapat mematoknya kapan saja.

"Bahkan Nagini dapat melakukan jauh lebih baik dari itu.." Hanya dengan mendengar ucapannya sendiri, sebuah rencana jahat tercipta dalam kepalanya.

The Way I Feel Inside | A William Weasley FanfictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang