Prolog

130 16 4
                                    

Aku adalah seorang penulis, ya penulis amatir. Bisa dibilang seperti itu. Aku juga menjadi penerjemah dan editor, bukan profesional tapi memang hanya seseorang yang membutuhkan pekerjaan. Kadang juga aku menjadi penyanyi cafe. Apapun aku lakukan untuk mendapatkan uang setidaknya untuk bertahan hidup sampai hari ini. Karena kalian tahu, hidup selalu berbayar, bahkan toilet umum pun bertarif. Hanya oksigen yang gratis, setidaknya Tuhan cukup bermurah hati tidak memasang tarif untuk itu. Jika harus membayar, aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya nasibku dan mereka yang sulit mendapatkan uang.

Bahkan aku pernah menjadi pacar bayaran dan pelayan bar. Hanya menjadi jalang tidak terbersit untuk ku lakukan. Bagaimana pun sulit nya aku mencari uang, tidak akan sampai aku menjual diriku sendiri demi kehidupan. Biarlah aku mati kelaparan daripada harga diri aku gadaikan.

Aku tinggal di sebuah apartemen studio yang cukup murah untuk ukuran warga kota metropolitan di negara serba kaya ini. Pemerintah sudah sangat baik memberikan kelonggaran berupa subsidi rumah sewa pada warga negara berpenghasilan rendah seperti kami. Ada lebih dari 300.000 rumah sewa sederhana yang dibangun pemerintah untuk menampung manusia berpenghasilan rendah yang semakin mempersempit kota Seoul. Benar aku tinggal di Dongdaemun-gu, Seoul sebelah timur.

Kalian yang terbiasa hidup datar tanpa beban pastinya akan terperangah mendengar betapa panjang dan menyedihkannya kisah hidupku. Ya, sangat menyesakkan bahkan aku nyaris menghilangkan nyawaku sendiri karena tidak sanggup menanggung beban hidup ini sendirian.

Usiaku masih 24, dan aku sudah menyaksikan betapa kejamnya hidup ini terhadap manusia sepertiku. Kadang aku berpikir, apakah orang lain juga merasakan apa yang aku alami hingga sampai saat ini? Sebelum ini hidupku selalu indah, apapun hal yang kuinginkan selalu dengan mudah ku dapatkan. Keluargaku, teman-teman, dan lingkungan begitu menyayangiku. Sampai pada satu waktu, hidupku dijungkir balikkan. Aku terbuang.

Kini aku hidup sendirian, tanpa keluarga dan teman. Konsekuensi atas apa yang sudah aku lakukan di masa lalu.

Aku masih terbaring di istana murahku. Gemericik air hujan di luar membuat ku semakin ingin mengeratkan selimut dan memejamkan mata kembali. Aku tidak punya banyak pekerjaan hari ini, hanya mengedit beberapa bagian artikel yang sudah penerbit kirimkan kemarin malam. Sedikit banyak sudah aku selesaikan tadi malam. Sisa nya akan aku selesaikan siang ini sebelum pergi ke cafe tempat suara emasku digadaikan dengan harga murah tentunya.

"Mommy,," Aku mendengar suara anak kecil dan sebuah tangan mungil menepuk-nepuk kepalaku yang masih terbenam dalam bantal. Aku harap ini mimpi, karena aku masih ingin terpejam. Sampai 10 memit kemudian aku mendengar suara tangisan begitu kencang. Netraku membulat dan kesadaran mulai menghampiri. Astaga, itu Key, anakku.

"Sayang, mommy disini." Aku meraba kasur disampingku, dan begitu terkejut ketika tak ku dapati bocah itu disekelilingku. Mataku semakin membulat ketika ku temukan dia sudah berguling dilantai dengan meronta-ronta. Segera aku melompat dari tempat tidur dan menggendongnya.

"Mommy.." Ku kecupi pipi dan dahi nya yang sudah basah dengan keringat dan air mata. "Sakit."

"Ya Tuhan, Key jatuh? Coba mommy lihat mana yang sakit?" Aku melihat dahi nya merah, mungkin dia mendarat dengan kepala di bawah. Apapun itu, yang kini aku rasakan adalah khawatir.

"Sayang apa ini sakit? Katakan mana yang sakit?" Kataku mencoba meyakinkan diri sendiri sambil menunjuk dahi dan bagian kepalanya. Dia menggeleng dan menepuk dahinya.

"Ini mommy." Syukurlah setidaknya hanya sedikit kemerahan di dahinya, mengingat tempat tidur yang kami tempati hanya setinggi 50 cm.

"Mommy obati mau?" Dia mengangguk dan aku menciumi dahinya. "Sekarang sudah baikan?"

"Lagi." Aku sangat bersyukur dalam keadaanku yang seperti ini, hanya dia satu-satunya harta yang aku punya. Aku kembali menciumi dahi dan pipinya dengan sedikit gemas, dia meringis kemudian tertawa ketika aku mulai menggelitiki pipi nya dengan bibirku. Melihatnya aku hanya bisa menitikkan air mata. Meskipun tanpa ayah, aku berusaha memberikan kasih sayang sepenuhnya.

Choi Hyun Ki, aku melahirkannya saat usiaku masih 21 tahun. Jika dalam benak kalian aku menikah, jawabannya adalah tidak. Aku melahirkan Key tanpa suami. Usianya baru menginjak 3 tahun, masih cukup kecil untuk menghadapi kejamnya dunia ini. Aku selalu berusaha menjadi ibu sekaligus ayah yang terbaik untuknya. Apapun ku lakukan agar jangan sampai kekejaman dunia menyentuhnya. Aku tak rela.

*****

Sudah bisa menebak kan ini bocah mirip siapa? 🤭

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sudah bisa menebak kan ini bocah mirip siapa? 🤭

Sudah bisa menebak kan ini bocah mirip siapa? 🤭

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mommy Choi 😊

CureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang