Key masih tertidur dengan memeluk paha Aeri setelah menghabiskan waktu satu jam untuk menangis. Seolah tahu bahwa beberapa jam lagi ibunya akan segera meninggalkannya kembali untuk bekerja. Ruangan berukuran ± 30 m2 itu sudah sangat berantakan karena ulah sang anak yang tidak mau diam. Bahkan sebelum menangis histeris Key sempat mengacak-acak file dokumen yang Aeri simpan di meja sebelahnya.
Aeri sempat membentak Key karena dokumen itu sudah harus diberikan pada penerbit hari ini. Salahkan dirinya yang tidak hati-hati menyimpan dokumen penting sehingga Key dengan mudahnya mengambil dan membuatnya berantakan. Mau tidak mau Aeri menghabiskan waktu 1 jam untuk kembali merapikannya seperti semula. Bahkan ia tidak sempat membereskan rumahnya sebelum kekacauan itu terjadi.
Suara ketukan di pintu apartemennya membuat Aeri harus kembali bernafas frustasi. Pasalnya pekerjaannya belum selesai, sementara ia harus mengembalikan hasil editannya pada penerbit jam 5 sore ini. Dengan hati-hati Aeri memindahkan tangan Key dari pahanya, takut si kecil terbangun dan kembali menangis.
Aeri mengintip lubang pintu yang menampilkan senyum lebar dengan gigi tepat di depannya. Aeri hanya terkikik dan membuka pintunya.
“Ada apa dengan gigimu?”
“Hanya memastikan kau tidak akan salah membuka pintu.”
“Ya, kebiasaan.” Aeri tersenyum seraya mempersilahkan tamunya masuk.
“Key tidur?” Pria tampan itu berlalu dan menghampiri Key yang tertidur dengan posisi tengkurap. “Astaga Aeri ini pasti tidak nyaman. Ya Tuhan, dia habis menangis?”
“Hmmm.” Aeri hanya bergumam dan kembali memposisikan diri di hadapan monitor.
“Berapa lama dia menangis?”
“Aku rasa satu jam. Akhir-akhir ini dia menjadi sangat rewel. Bahkan tadi pagi dia terguling dari tempat tidur.”
“Bagaimana bisa? Aku tebak kau masih tidur benar?” Aeri hanya mengedikkan bahunya sementara pria disampingnya sudah membalikkan posisi Key dan menggendongnya menuju tempat tidur. “Jangan terlalu banyak bekerja. Kau masih harus mempertimbangkan Key sebagai tanggung jawabmu.”
“Ya ya ya dokter. Aku kelelahan setelah semalam ada jam tambahan di cafe dan harus mengedit dokumen yang sudah penerbit berikan kemarin.”
“Carilah pekerjaan baru yang memudahkanmu menjaga Key.”
“Menjadi jalang? Hanya itu pekerjaan paling mungkin untuk wanita dengan ijazah sekolah menengah.”
“Hey dangkal sekali pemikiranmu. Bukannya kau masih bisa meneruskan pendidikanmu?”
“Sudah terlalu lama aku cuti oppa. Aku tidak yakin pihak universitas akan bisa mempertimbangkan kembali aku masuk kesana.”
“Kau bahkan bisa menjadi penulis dan editor di penerbit. Aku yakin kau masih bisa melanjutkan pendidikanmu.”
“Kau lupa dengan bantuan siapa aku bisa bekerja disana? Pekerjaanku satu-satunya yang dapat diterima orang dengan baik hanya menjajakkan suaraku di cafe itu saja.”
“Ya karena kau memang berbakat. Mungkin jika melamar di agensi, kau bisa menjadi penyanyi yang sangat terkenal.”
“Dan aku akan sangat sibuk untuk mengurus Key.”Aeri menghentikkan aktivitas mengetiknya dan tertawa. “Agensi mana yang akan mempekerjakan ibu satu anak? Sudahlah oppa, begini saja sudah membuatku dan Key mampu bertahan hidup.” Pria itu, Lee Taemin hanya tersenyum sambil membereskan ruangan yang sudah tidak berbentuk seperti ruangan lagi.
Lee Taemin seorang dokter umum di rumah sakit kecil dekat apartemen mereka. Tetangga Aeri sejak dia pindah ke apartemen ini 3,5 tahun lalu. Usianya 29 tahun, tapi wajahnya masih seimut idol berusia 20 tahun. Mereka bertemu ketika Aeri bermaksud mengakhiri hidupnya dengan melompat dari atap apartemennya. Namun naas, sebelum melompat Aeri harus terpeleset dan jatuh tepat diatas tubuh Taemin yang saat itu sedang tertidur di dekat pagar pembatas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cure
FanfictionSebagaimana daun yang gugur mengikuti arah angin Layaknya rindu yang terhampar menjalari laju hati