- Imelda Mela Safira -
***Ketakutan terbesarku satu. Perasaan yang selama ini kukubur dalam-dalam tak lagi terbendung dan meluap tak terkendali.
Ya, seseorang yang hampir tujuh tahun kucintai diam-diam. Seseorang yang aku membenci saat aku tak kuasa di dekatnya, seseorang yang selalu mengubahku dalam segala suasana, juga seseorang yang menguasai dua pertiga lautan rindu dalam hatiku.
Ya, aku menginginkannya. Lebih dari keinginanku pergi menjauh darinya. Dia adalah kutub magnet berlawanan diriku, dan aku selalu tak berdaya melawan daya tariknya.
Meski berkali-kali mencoba menghapus bayangnya, tapi siluet dirinya akan selalu datang menyapa dan menghantuiku. Dan aku selalu bisa mengenalinya, meski jarak dan waktu berhasil menjauhkanku darinya, tujuh tahun yang lalu. Dan kini, semuanya tak berarti apa-apa, saat dia ada di hadapanku.
“Mbak, Mbak Mela kenapa?” Vina mengguncang lenganku dan kembali mengembalikan kesadaranku.
Aku menoleh ke arahnya dan mengulas senyum.
“Ayo masuk!” ajaknya menggandeng tanganku.
Aku mengangguk.
Ya Allah! Benarkah laki-laki yang barusan kulihat adalah dia. Kenapa dia ada di sini. Bukankah seharusnya dia ada di Kairo menyelesaikan pendidikannya. Kudengar dia memilih melanjutkan S2-nya di sana. Kenapa dia ada di sini? Hatiku bertanya-tanya tentang sosok laki-laki yang baru saja kulihat.
“Mel! Bagaimana kuliahmu?” tiba-tiba Bulik Sofi muncul di hadapanku---tidak, kami memang sudah saling duduk sekitar dua menit yang lalu, lebih tepatnya Bulik Sofi membuyarkan lamunanku.
“Iya, Mel. Paklik dengar kamu lulus sebagai lulusan terbaik Sarjana Psikologi di universitasmu,” Paklik Hasan menambahi.
Aku tersenyum malu di hadapan mereka. Sedang Vina menatapku dengan senyuman lebar hingga deretan gigi putihnya terlihat.
“Paklik ucapakan selamat untuk kelulusanmu,” Paklik Hasan tersenyum ramah.
Aku mengangguk dan tersenyum menimpalinya.
“Paklik, Bulik! Sebenarnya ada apa Mela disuruh datang kemari?” tanyaku penasaran setelah diam beberapa saat. Sejak kemarin aku memang sudah sangat penasaran saat tiba-tiba Vina menghubungiku dan memintaku datang atas perintah orangtuanya.
Paklik Hasan dan Bulik Sofi saling berpandangan sebentar sampai Bulik Sofi mengangguk dan Paklik Hasan berbicara, “Ini mengenai amanah dari almarhum bapakmu Mel!” kata Paklik Hasan langsung kumengerti arah bicaranya.
“Bagaimana? Apakah Mela sudah siap hidup berumah-tangga?” tanya Paklik.
Aku menunduk dalam tidak tahu harus menjawab apa. Menikah? Siapkah aku menjalani kehidupan pernikahan di usiaku yang masih 22 tahun. Padahal kakak-kakak perempuanku menikah di usia mereka yang ke 24 atau bahkan 25 tahun setelah menamatkan S2-nya.
Benarkah aku siap? Lagipula siapa yang akan menjadi suamiku? Sedangkan aku sendiri tidak yakin bisa menghapuskan laki-laki yang kutemui tadi di pelataran ndalem Paklik. Aku takut tidak bisa melupakannya dan malah menyakiti laki-laki yang akan jadi suamiku nanti. Aku tidak tahu.
“Bagaimana Mela? Mela sudah memutuskan kan?” tanya Bulik yang tiba-tiba sudah duduk di sampingku, kedua tangannya memegang bahuku dari belakang.
“Jika iya, Paklik dan Bulik sudah menemukan pemuda baik yang siap menjadi suamimu. Tapi, itu pun jika kamu setuju,” kata Bulik Sofi membuatku tercengang menatapnya.
Seorang pemuda yang siap menjadi suamiku! Siapa? Kataku dalam hati tak percaya.
“Iya, Mela. Tidak harus langsung lamaran. Mela bisa ta’aruf dulu dengan pemuda itu. Karena semua ini tergantung pada keputusan Mela, Paklik dan Bulik tidak akan memaksa kamu karena kamu yang akan menjalaninya,” kata Bulik Sofi menatapku dengan kedua mata beningnya.
Aku kembali menunduk. Tidak tahu harus berkata apa. Semua ini begitu mendadak buatku. Memang Paklik dan Bulik tidak memintaku langsung setuju untuk menikah, tapi secara tidak langsung mereka benar-benar ingin melihatku segera menikah seperti amanah almarhum bapak.
Tapi, kurasa aku belum siap. Menghapus semua rasa yang kumiliki untuknya dan memberikannya pada orang lalin, yang aku sendiri tidak tahu siapa.
“Bagaimana? Apa yang menjadi keputusan Mela?” Paklik Hasan berkata.
“Mela.. Mela.. Mela belum bisa memutuskan Paklik!” kataku mengangkat kepala dan menatap lurus Paklik Hasan. “Mela butuh waktu untuk berpikir dulu,” kataku kembali menunduk.
“Hah…” Paklik Hasan menghembuskan napas panjang “Baiklah kalu begitu,” katanya kemudian.
“Maaf, Paklik! Jika Mela mengecewakan Paklik,” kataku lirih. Aku benar-benar merasa tidak enak sekarang.
“Tidak apa, Mela” Paklik Hasan tersenyum padaku. “Paklik akan menunggu sampai kamu mengambil keputusan. Lagi pula tidak baik jika kita tergesa-gesa.”
“Iya, Mel. Yang terpenting untuk kami adalah kebahagiaan kamu,” Bulik Sofi memegang tanganku dengan tatapan hangatnya.
“Ok. Selama Mbak Mela berpikir untuk memutuskan pilihannya, Mbak harus tinggal dan tidur di kamarku!” Vina tiba-tiba angkat suara. Sikap kekanak-kanakan dan manjanya keluar.
Perasaanku tidak enak. Aku yakin, dia tidak akan membiarkanku tidur sebelum mendengar semua ceritanya. Dia pasti akan memusingkanku beberapa hari ke depan selama menginap.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Pilihan (Tamat)
Short Story"Ketakutan terbesarku satu. Perasaan yang selama ini kukubur dalam-dalam tak lagi terbendung dan meluap tak terkendali." [ Kerabat Ndalem & Santri Slice of Life ] >>> A shortstory by : Puput Pelangi Published on Wattpad : 16 - 19 Juli 2019 ⚠️ Pernah...