Chapter 4

2.8K 133 12
                                    

Aneh! Sudah tiga kali melakukan sholat istikharah tapi dalam mimpiku selalu Raihan yang datang menghampiriku. Padahal sudah jelas seminggu lalu dia menjadi suami Vina, sepupuku.

Aku tidak menghadiri pernikahan mereka. Alasannya, sudah jangan ditanya. Dua hari sebelum pernikahan aku pergi ke Jakarta mengikuti sebuah seminar psikologi di sana. Event yang sebelumnya selalu kuikuti dan menjadi alasan terbaikku untuk tidak hadir di pernikahan mereka waktu itu.

Sepulang dari seminar, tepat malam sebalum pernikahan aku pura-pura sakit, kenyataannya aku memang sakit, bukan dhahir tapi bathin.

Aku mengurung diri di kamar tanpa seorang pun yang tahu kalau aku menangis seharian.

"Mel, Paklikmu mengirimkan foto laki-laki yang mau dijodohkan denganmu, Nak!" Ibu muncul dari balik pintu, sebuah amplop cokelat besar ada di tangannya. "Ibu taruh meja ya! Nanti kamu lihat."

Aku mengangguk sebelum melihat Ibu pergi kemudian melepas mukena yang baru kukenakan sholat dhuha.

Ya, ini sudah menjadi keputusanku. Beberapa hari lalu aku telah menyetujui perjodohan yang akan dilakukan Paklik Hasan. Tidak benar kan memikirkan laki-laki yang sudah menjadi suami orang, terlebih suami sepupu sendiri.

Sebenarnya berat, tapi mau bagaimana lagi. Sampai kapan aku memikirkan Raihan. Lagipula aku juga harus menjalankan amanah dari almarhum Bapak, belum lagi Ibu yang sudah ingin menimang cucu dariku. Aku juga sudah mempertimbanhkan usiaku.

Pagi. Jam sudah menunjukan pukul delapan. Itu berarti setengah jam lagi aku harus pergi ke rumah Paklik Hasan.

Hari ini rencananya aku akan dipertemuka dengan Ahmad, laki-laki yang dijodohkan denganku. Insyaallah dia akan menjadi suamiku. Dan aku berjanji akan mencintai siapa pun yang akan menjadi suamiku. Berusaha mencintainya karena Allah.

Ini semua demi kebaikanku!

Kupakai baju berwarna hijau yang disiapkan Ibu, Ibu menjahitnya sendiri beberapa hari lalu setelah mendengar keputusanku yang menerima dijodohkan. Sangat pas meski sebenarnya aku kurang suka warnanya, tapi demi Ibu aku tetap mengenakannya.

Aku berpamitan sebelum pergi tapi Ibu menahanku dan menggiringku kembali ke kamar. Aku hanya kebingungan menatapnya.

"Ya Allah! Mel, Mel. Mau ketemu calon suami kok nggak dandan sama sekali," Ibu berkata. Setelahnya Ibu memakaikan bedak di wajahku, tak lupa Ibu juga menambahkan celak hitam di mataku.

Aku diam. Yang kulakukan hanya melihat bayanganku sendiri di cermin.

"Nah, begini kan terlihat lebih cantik!" ujar Ibu tersenyum memegangi pundakku setelah memoles blush on tipis di pipiku. Membuatnya bersemu merah.

"Tunggu tunggu... ada yang kurang!" pekik Ibu kemudian berlalu sebentar dan kembali dengan lipstik merah di tangannya.

"Tidak usah, Bu!" aku menahan tangan Ibu yang mau memakaikan lipstik itu ke bibirku. "Mela pakai ini saja!" kataku meraih lipbalm warna softpink dari laci meja rias sambil tersenyum memakainya. "Bagus kan?"

"Kamu ini?!" Ibu menggelengkan kepala.

Aku tersenyum, bangkit dari dudukku. "Ya sudah. Mela pergi dulu ya, bu!" Aku meraih tangan Ibu lalu menciumnya, "Assalamu'alaikum," kataku akhirnya.

"Wa'alaikumussalam." Ibu mengikutiku sampai depan.

"Jangan lupa tersenyum ya!" pesan Ibu begitu aku memasuki mobil, menyalakan mesin.

"Iya, Bu," balasku kemudian berlalu.

Lima belas menit berkendara aku sampai di pelataran ndalem Paklik Hasan. Sudah ada salah satu sedan hitam yang pernah kulihat di acara lamaran Vina terparkir di sana. Pasti mobil Ahmad.

Jodoh Pilihan (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang