Kamar Vina tidak banyak berubah. Masih sangat wangi dan dipenuhi benda berwarna pink di mana-mana. Hanya saja lemari kayu di sebelah kanan tempat tidurnya yang dulu dipenuhi boneka kini penuh dengan buku.
Buku-buku agama, kitab-kitab tafsir, terjemah kitab-kitab kuning juga beberapa novel islami karya Asma Nadia, Ma’mun Affany, bahkan novel-novel karya Habiburrahman El-Shirazy.
Aku sudah mencari buku-buku itu ke mana-mana tapi tetap saja tidak selengkap koleksinya.
Aku tidak menyangka, Vina yang dulu sangat suka bersolek menjadi kutu buku seperti ini. Aku ingat, dulu dia paling tidak suka jika harus membaca buku pelajarannya, apalagi buku-buku lain seperti ini. Hah, memang ya! Waktu bisa mengubah seseorang, meski tidak sepenuhnya dan tidak semua orang seperti aku. Aku belum berubah.
“Mbak, temenin aku yuk!” ajak Vina.
“Ke mana?”
“Itu, ke asrama pondok putri. Umi tadi menyuruhku mengawasi tadarusan para santri putri di sana,” Vina sudah berdiri di depan cermin, membubuhkan bedak ke wajahnya lalu memakai celak.
Aku benar, waktu tidak bias mengubah orang sepenuhnya. Vina contoh nyatanya.
“Udah bagus belum, Mbak?” tanya Vina memutar kepalanya hampir 180 derajad ke arahku.
Aku mengangguk mengiyakan. Pada kenyataannya dia memang cantik, tanpa berdandan sekalipun, sama seperti Bulik Sofi uminya. Mata dan hidungnya mewarisi mata dan hidung Paklik Hasan, Paklikku yang merupakan adik terkecil Bapak. Jangan tanya, beliau berdua memiliki wajah yang rupawan. Begitu juga saudari-saudarinya yang merupakan Bibi dan Budeku.
“Ya sudah. Ayo, Mbak!” Vina menggandeng tanganku. Seketika bau parfumnya menyeruak menelisik saraf hidungku.
Aku dan Vina telah keuar dari wilayah pelataran ndalem dan memasuki kawasan masjid An-Nur, masjid yang memisahkan asrama putri di sebelah timur dan asrama putra yang ada di sebelah baratnya.
Deg...
Jantungku rasanya berhenti berdetak sebentar melihat sosok yang sangat kukenali duduk berbincang dengan seseorang di emperan masjid.
Dia juga melihat ke arahku. Sontak aku menundukan pandangan dan mempercepat langkah menjauhi orang itu. Bisa-bisa aku kehilangan kendali jika tidak segera pergi. Vina yang tadinya berjalan perlahan kutarik tangannya sampai dia mengimbangi jalanku.
“Kenapa sih, Mbak?” tanyanya.
“Mataharinya terik, Vin. Nanti kulit kita terbakar,” kataku asal.
“Ouh...,” gumam Vina.
Beberapa saat kemudian kami sudah berada di asrama putri setelah melewati masjid dan memasuki gerbang masuk asrama. Aku menghela napas lega mengingat kejadian yang baru saja menimpaku. Untung saja aku segera pergi, kalau tidak aku bisa berhenti bernapas berada di sana setelah saling bertatapan dengannya.
Seorang Ahmad Al-Faruk Raihan. Pemuda yang dulunya satu kelas denganku saat MTs sampai kami lulus dan akhirnya dia masuk pesantren Al-Ma’ruf ini, pesantren hufadz Al-Qur’an milik Paklik Hasan. Aku sendiri waktu itu memilih nyantri di sebuah pesantren salafiyah di Kediri.
Raihan, dia adalah cinta pertamaku.
Mungkin bagi kebanyakan orang jatuh cinta di usia MTs itu cinta monyet. Tapi tidak untukku, buktinya jantungku masih berdegup kencang saat melihatnya. Bahkan setelah tujuh tahun, aku juga masih bisa mengenalinya dengan baik.
Aku masih sangat menyukainya. Lebih ke menganguminya mungkin. Orang yang sampai sekarang aku tidak tahu bagaimana perasaannya padaku, orang yang dulu jadi ketua kelasku, orang yang menjadi ketua OSIS di sekolah, juga orang yang most wanted, disukai banyak siswi termasuk aku dan beberapa teman dekatku.
Aku tidak menyangka akan bertemu dengannya lagi. Di sini! Saat seharusnya tujuh tahun telah mengubah perasaan yang kumiliki, saat seharusnya aku bisa melupakannya setelah semua. Kisah percintaannya dengan beberapa orang temanku di masa lalu. Juga masalah beberapa teman kuliah, senior dan dosen muda yang terang-terangan menyatakan cintanya padaku dan berkata ingin serius denganku.
Bukankah seharusnya aku bisa melupakannya!?
Ya. Aku seharusnya bisa melupakannya.Tapi kenapa sesulit ini, seperti seorang lumpuh yang tidak bisa menggerakkan tubuhnya sendiri.
“Mbak Mel, tahu nggak kalau aku mau lamaran?” kata Vina membuyarkan lamunanku yang sedang menatap kosong ke arah luar jendela kamarnya.
Aku mengangguk. “Iya, tahu. Ibu sudah menceritakan soal itu padaku,” kataku tanpa menoleh ke arahnya.
“Mbak Mela baru melihatnya tadi, orang yang duduk di emperan masjid itu calon suamiku, Mbak!”
“Siapa?” sontak aku menoleh pada Vina mendengar kalimat terakhir yang diucapkannya. Berharap salah mendengarnya.
Vina menunduk, tersenyum malu-malu sampai sebuah nama keluar dari bibirnya, “Ustadz Raihan, Mbak.”
Deg...
Jantungku serasa dipukul begitu keras sampai kesulitan bernapas menahan sakitnya. Raihan dan Vina! Bagaimana bisa?
“Lamarannya besok malam. Rasanya aku benar-benar gelisah dan cemas menunggu apa yang terjadi besok!” Vina memeluk tubuhku yang hampir membeku kemudian pergi dan menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Aku sendiri memilih pergi ke kamar mandi menyadari air mata mulai membasahi pipi.
Semua begitu mengejutkan untukku. Aku tidak bisa mengendalikan diri dan hatiku. Aku tak percaya! Raihan dan Vina? Aku tidak sanggup meski hanya membayangkannya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Pilihan (Tamat)
Short Story"Ketakutan terbesarku satu. Perasaan yang selama ini kukubur dalam-dalam tak lagi terbendung dan meluap tak terkendali." [ Kerabat Ndalem & Santri Slice of Life ] >>> A shortstory by : Puput Pelangi Published on Wattpad : 16 - 19 Juli 2019 ⚠️ Pernah...