Chapter 3

2K 132 0
                                    

Sofa dan meja yang ada di ruang tamu ndalem dikeluarkan dan diganti permadani bermotif bunga yang digelar dengan berbagai makanan, buah, minuman dan jamuan lain di atasnya.

Hingar-bingar santri putri yang membicarakan lamaran Vina memecah kedamaian di seantero asrama. Bahkan santri putra pun tertular virus yang sama. Para abdi ndalem pun membicarakannya.

Ba'da isya', dua buah mobil sedan berwarna hitam berhenti di pelataran ndalem.

Di antara rombongan itu seorang laki-laki yang memakai baju koko warna putih, peci hitam dan sarung senada menarik atensiku, memaksaku menahan sakit yang luar biasa di ulu hati. Dia Raihan, sosok yang selama ini bersemayam di sana.

Tidak kupungkiri, Raihan dan Vina pasangan serasi. Pemuda berparas tampan yang hafidz Al-Qur'an juga jebolan Al-Azhar Mesir dengan gadis cantik yang hafidzah, terlebih gadis itu putri sematawayang Paklik, ustadz sekaligus kiai Raihan sendiri.

Mereka cocok.

Siapa aku berani bermimpi bisa bersanding dengannya?

Aku tidak secantik Vina. Menjadi hafidzah pun masih rencana dan pendidikan agamaku pun hanya sebatas jenjang MA sebelum akhirnya kuliah mengambil jurusan psikologi. Dan soal pendidikan pesantrenku, belum sepenuhnya mendalam karena aku hanya nyantri selama tiga tahun saat MA.

Lain dengan Vina. Ia sudah mengenyam pendidikan di pesantren sejak MTs, bahkan sudah menghafal Al-Qur'an saat MI. Vina terkenal pandai meski tanpa belajar, ia juga seorang gadis yang berpendidikan agama sampai sarjana, jurusan ahwalus sakhsiyah pula.

Aku tidak bisa menahan kepedihan lebih lama lagi saat rombongan Raihan masuk. Melihatnya seperti ini berhasil menghancurkan pertahananku. Aku yang menemani Vina mengintip rombongan itu dari balik gorden ruang tengah pun pura-pura sakit agar bisa meninggalkannya dan membaringkan tubuh di kamar.

Ya, kini aku menangis. Kecewa pada diri sendiri. Orang yang harusnya bisa mengendalikan emosi malah berakhir menyedihkan begini.

Aku malu. Pada Raihan, Vina, Paklik Hasan, Bulik Sofi, juga pada diri sendiri. Lebih malu lagi pada Ilahi, pada Allah. Aku cemburu pada orang yang tidak halal untukku juga bukan siapa siapaku. Malu, di sisi lain hatiku juga hancur dan menolak menerima kenyataan ini.

Tok tok tok.

Seseorang mengetuk pintu, "Mel, kamu di dalam nak?!" Dari suaranya pasti Bulik Sofi.

"Rombongan keluarga calon suami Vina dan pemuda yang akan kami kenalkan padamu sudah sampai," katanya.

Setelah mengelap air mata dengan kerudung aku membuka pintu. Entah bagaimana wajahku.

"Mela tidak enak badan Bulik," kataku.

Wajah ayu Bulik Sofi yang tadinya sumringah berubah cemas.

"Ooo... ya sudah, tidak apa. Kamu istirahat saja!" pintanya.

Aku mengangguk mengiyakan dan segera kembali menutup pintu setelah Bulik Sofi pergi. Kubaringkan tubuhku ke ranjang dan setelahnya air mataku kembali keluar.

Aku menangis sendiri sampai acara lamaran selesai lalu pura-pura tidur saat Vina kembali ke kamar.

Aku tahu dia pasti ingin cerita banyak padaku, tapi terlalu sakit buatku mendengar dan merayakan kebahagiaannya.

Aku tidak bisa pura-pura bahagia saat hatiku sendiri terluka. Maafkan aku Vina!

***

Jodoh Pilihan (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang