BAB 1

1.5K 97 3
                                    

"Sabar, sabar, Rain.... Kamu pasti dapet kerja kok. Kamu kan cantik, pinter gitu ye, kan?" Gumam seorang sambil memegang tali tas ranselnya. Tak lama, terdengar bunyi perutnya yang keroncongan karena belum diisi sejak pagi. Gadis itu pun memegang perutnya dengan tangan kanan dan tangan kirinya mengusap keringat yang mengucur di pelipisnya.

Ya, gadis itu bernama Rain Azilia, korban PHK salah satu pabrik sepatu di Jakarta yang hampir kolaps. Berbekal dengan membawa ijazah SMA untuk mencari pekerjaan, Rain sudah keluar dari rumah asuh dari pukul 7 pagi. Namun, sudah hampir setengah hari dia menyusuri ibu kota, belum ada satu pun tempat yang dilihatnya membuka lowongan pekerjaan.

Menjadi seorang yatim-piatu yang di Kota Metropolitan bukan hal mudah baginya. Ayah Rain telah meninggal saat usia Rain belum genap tiga tahun. Lalu ibunya entah kemana perginya, meninggalkan dirinya yang masih sangat kecil di sebuah rumah singgah. Kehidupan masa kecil Rain pun dijalani dengan cukup berat. Dia harus mengamen untuk membeli buku-buku Sekolahnya semasa SD. Lalu, saat berinjak SMA, dia sudah mulai bekerja part time untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Setelah lulus SMA dan diterima bekerja di Pabrik Sepatu, hidup Rian sudah bisa dikatakan lebih baik dari sebelumnya. Namun, tidak sampai satu tahun, dia harus kena PHK karena perusahaan yang mengalami kerugian. Kehidupan Rain kini kembali pada masa-masa yang sulit.

Rian mengeluarkan dompet biru dari tasnya yang sudah sedikit lusuh. Gadis itu menghela nafas melihat isinya. Hanya ada selembaran uang abu-abu bergambar pahlawan Hoesni Thamrin. Rain lantas memasukkan kembali dompetnya. Sepertinya dia harus menahan lapar sampai dia kembali ke rumah singgah.

Ketika dia berjalan melewati pangkalan ojek yang sepi, sebuah mangga muda jatuh di kakinya. Senyum Rain mengembang. Dia lantas menengadahkan kepalanya ke atas. Buah yang masih berwarna hijau yang berukuran sedang itu benar-benar menggoda perutnya saat ini. Tanpa menunggu apapun, Rain melepaskan sepatu fantople yang dia pakai lalu naik ke atas pohon. Diambilnya satu buah mangga yang setengah matang lalu digigit. Rasa lapar yang sejak tadi Rain tahan membuat mangga ini terasa lezat sekali. Dan saat Rain masih asyik-asyiknya menikmati buah mangga, seorang pria paruh baya meneriakinya dari bawah.

"Rain..." Panggil Bapak itu membuat Rain terperanjat. Hampir-hampir dia kehilangan keseimbangan tubuhnya jika dia tidak berpegangan pada batang pohon. Rain lantas menengok ke bawah.
"Eh, Pak Darin..." Sapa Rain sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Kamu ngapain di atas pohon?"

Pertanyaan Pak Diman membuat Rian nyengir. "Laper, Pak, hehe..."

Pak Diman geleng-geleng. "Kebiasaan kamu ya. Kalau laper ya makan nasi. Ini malah makan mangga di atas pohon," ujarnya membuat Rian terkekeh pelan. Gadis itu langsung turun tanpa disuruh.

"Ini kebetulan Bapak punya nasi padang bungkus. Ayo kita berdua," kata Pak Diman saat Rain sudah turun dari pohon.

Gadis itu menatap bungkus nasi padang yang dipegang Pak Diman dengan pandangan lapar, hanya saja rasa sungkannya pada Pak Diman membuat Rain berpikir ulang.  "Wah, itu kan punya Bapak. Bapak aja yang makan. Rain udah kenyang kok makan buah mangga tadi," ucap Rain pada akhirnya.

Pak Diman duduk di gubuk yang ada di dekat pohon mangga itu lantas membuka bungkus nasi yang dia bawa. "Rain... Rain... Kamu ini kayak sama siapa aja. Sini, ayo makan bareng sama Bapak. Bapak tahu kalau kamu laper, jangan sungkan-sungkan gitu,"

"Tapi, Pak... Rain beneran gak..." Perkataan Rain terhenti karena Pak Diman menyela.

"Kamu ikut makan sama Bapak atau Bapak juga gak makan,"

Rain terdiam sejenak. Dia lalu menghela nafas kemudian tersenyum kearah Pak Diman. "Ya sudah, iya Pak Diman... Rain ikut makan sekarang," ujar Rain lantas duduk di sebelah Pak Diman. Mereka pun makan bersama dengan lahap. Sesekali Pak Diman melontarkan candaan pada Rain hingga gadis itu tertawa. Dan Rain menikmati kebersamaannya dengan Pak Diman. Baginya, Pak Diman sudah seperti keluarga. Beliau lah orang pertama yang menemukan dirinya di pinggir jalan setelah ibunya meninggalkannya disana. Beliau juga yang membawanya ke rumah singgah. Karena itu, Rain merasa dekat dengan Pak Diman. Jika saja, Pak Diman tidak memperdulikan dirinya waktu itu, entah dirinya masih bisa hidup atau tidak untuk saat ini.

"Pak... Maafin Rain ya. Rain selalu merepotkan Bapak dari kecil," ujar Rain setalah mereka selesai makan.

Pak Diman tersenyum, dia menggeleng dengan tegas. "Bapak malah seneng kalau direpotin artinya Rain masih percaya Bapak bisa menolong Rain. Ngomong-ngomong, kapan Rain mau main ke rumah. Ibu kangen sama kamu katanya," ujar Pak Diman mengalihkan pembicaraan.

"Ah, itu anu, Pak. Sekarang Rain masih sibuk cari-cari kerjaan jadi belum sempat buat main. Besok sore pas Rain habis keliling cari kerjaan, Insyaallah Rain bakalan mampir,"

"Masih belum dapat kerjaan juga?"

"Iya, Pak. Sekarang susah cari kerjaan apalagi cuma ijazah SMA. Pengen kerja di pabrik lagi tapi udah kirim lamaran berhari-hari juga belum dipanggil buat wawancara. Pengen cari kerja deket-deket sini di Restoran atau Toko gitu gak ada yang buka lowongan, Pak."

"Oalah gitu. Kalau kerja di warung Mak Ijah mau? Keponakan Mak Ijah yang biasa bantu-bantu baru aja pergi ke Bandung. Dapat panggilan kerja disana. Kalau mau, bisa Bapak bicarakan sama Mak Ijah.

"Wah, beneran, Pak?" Tanya Rain dengan wajah berbinar. Dia merasa memiliki secercah harapan sekarang. "Rain mah mau-mau aja. Kerja apapun yang penting halal. Sambil kerja di warung Mak Ijah kan Rain bisa juga naruh lamaran kerja di tempat lain. Jadi sambil nunggu  panggilan wawancara kerja, Rain gak nganggur. Rain mau, Pak," lanjutnya dengan bersemangat.

Pak Diman tersenyum. "Yasudah, habis ini kita kesana, biar Bapak yang bicara sama Mak Ijah."

"Makasih, Pak. Makasih banyak." Rain mengatakan hal itu dengan senyum lebar. Setelah ini dia tidak akan menganggur lagi. Meskipun hanya bantu-bantu di warung dengan upah yang sangat jauh dibawah UMR yang dia terima dari pabrik, Rain tetap merasa senang karena ini lebih baik daripada dirinya harus luntang-lantung di jalanan. Dia tidak sadar, jika perjalanannya ke warung Mak Ijah nanti akan membawanya pada takdir yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya.

RAINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang