"Fana Asmara siapa sih?"
Sang empunya nama menunduk, mengepalkan tangan lalu menghela napas. Sebuah pertanyaan yang disengaja, dari orang yang kini menatapnya dengan senyum miring. Fana diam. Untuk apa menjawab? Toh Bimo, orang yang bertanya tadi sudah mengenalnya.
Hanya ingin mendengar suaranya saja.
"Oh? Enggak ada yang namanya Fana Asmara, nih? Nggak ada kali ya, atau malu buat ngaku?"
Fana diam, semakin diam. Bimo memang sangat kelewatan, tapi tatapan remeh dan senyum miring teman-teman sekelasnya membuat Fana tidak bisa melawan. Fana pemberani, tapi untuk urusan ini, harga dirinya sudah habis terinjak-injak sejak dulu dan untuk apa sok melawan.
Seorang cowok di ujung belakang mengamati cewek yang tertunduk itu. Namanya Genta, cowok pindahan baru yang bingung dengan keadaan kelasnya sekarang. Bimo berdecih keras-keras, menghampiri meja Fana dan menggebraknya keras.
"Cewek Es! Kalau dipanggil itu jawab!"
Genta geram, dia benci penindasan seperti ini.
"Kalau mau dijawab, jangan mempertanyakan pertanyaan yang sebenarnya tidak butuh jawaban. Akan terlihat lebih dungu jika Anda bertanya pertanyaan sampah seperti itu."
Kata-kata dingin yang sengaja kaku, pedas, dan menusuk itu meluncur begitu saja dari bibir Fana. Meski begitu, Genta tersenyum, sedikit bangga. Setidaknya Bimo-Bimo yang sombong itu terdiam sesaat.
"Cih. Sok baku itu biar apasih? Biar terdengar lebih tinggi derajatnya atau bagaimana?"
Genta geram. Ia ingin bangkit tapi ditahan oleh Fino, sahabat sekaligus teman sebangku barunya.
"Saya manusia biasa, hanya saja saya memang lebih berpendidikan dalam segi moral dan tata krama daripada Anda. Saya permisi."
Fana bangkit, meninggalkan kelas penuh dengki itu. Bimo meneriakinya, tapi ia tidak peduli. Dengan kencang ia berlari menuju suatu tempat yang bisa membuatnya merasa bebas setidaknya untuk sesaat.
Atap sekolah.
Fana duduk di pinggiran pembatas, membiarkan kakinya menggelantung. Ia menatap hamparan kota Jakarta yang luas, menatap bumi. Buminya yang keji, kejam, dan penuh dengki. Apa itu kebaikan? Fana asing dengan kata tersebut.
"Kalau mau lompat, lompat aja, Mbak."
"Ngapain saya lompat? Saya sudah mati. Saya tidak hidup."
Jawaban itu menohok ulu hati Genta yang iseng bertanya demikian. Cowok itu duduk tidak jauh dari tangga yang membawanya kemari. Akses menuju atap sungguh tidak mudah, serius. Ia mesti sedikit melompat dari balkon ujung lantai lima untuk menuju ke balkon kecil sempit yang hanya bisa diakses oleh para petugas. Itupun jarang. Barulah ia naik tangga sekita lima meter dan sampai keatas.
Genta juga bingung mengapa instingnya begitu yakin Fana ada disini. Cewek es itu ada disini, dan anehnya Genta berani menuju kesini padahal ia sangat anti dengan yang namanya manjat-memanjat.
Fana terlihat hancur, tapi tidak dengan raganya. Gadis itu membuka kemejanya, menyisakan kaus hitam dengan warna abstrak di dalamnya dan membiarkan angin meniup pelan kemejanya itu. Rambutnya berterbangan, merentangkan tangan dan terlihat bahagia.
"Gue Genta. Boleh kenalan?" Tanya Genta ragu. Cerocosan pedas bisa saja meluncur keluar dan kembali menohoknya dari bibir Fana.
"Saya Fana. Bukan Cewek Es."
Genta yang kepekaannya terlampau kuat menangkap sorot mata tajam Fana sedikit memohon. Genta tersenyum, kemudian mengangguk.
"Cepat turun, Fana. Nanti kena marah Pak Bambang-"
KAMU SEDANG MEMBACA
Genta dan Fana
Romance[ON GOING] Genta menemukan Fana dalam dunianya yang gelap dan penuh keji. Genta menjulurkan tangan, menawarkan pertolongan. Tapi Fana bukanlah orang biasa yang langsung menerima pertolongan dari orang lain. Rasa percayanya akan kebaikan sudah hilan...