Keenam || he falls in love.

6 0 0
                                    

Fana Asmara is calling...


Piip. 


"Halo, Genta..." 

Tolong ingatkan Genta kalau ada orangtuanya di kamar sebelah yang akan terbangun jika ia berteriak kencang sekarang. 

Fana menelepon dirinya, duluan. 

Sebentar, Genta masih terdiam dengan senyum yang tak bisa hilang dari bibirnya. Suara Fana begitu lembut, berbeda dengan nada bicaranya di sekolah yang tegas, dingin, dan sedikit datar. Genta duduk di meja belajarnya yang langsung menghadap keluar jendela, menyuguhkan pemandangan malam. 

"Hai, Fan. What's up?" 

"Tidak ada apa-apa, hanya bosan dan tidak bisa tidur." 

Fana dengan gaya bicaranya yang cenderung baku itu berkata. Genta tersenyum, biasanya ia akan marah-marah bila seseorang—bahkan teman-temannya sekalipun—menelepon dirinya nyaris tengah malam begini. 

Di temani segelas cokelat hangat buatan adiknya, Genta sudah benar-benar siap berbincang malam dengan Fana. Ia begitu rindu, padahal baru tadi sekitar beberapa jam yang lalu mereka menghabiskan waktu bersama senja di atap sekolah. 

"Fan, hobi lo tuh apa sih?" 

Genta menopang wajahnya dengan tangan, menatap keluar jendela. Pertanyaannya memecah keheningan yang memenuhi kamarnya karena Fana tidak kunjung bicara. Ya, namanya juga Fana, ia jarang sekali membuka topik. 

"Apa, ya? Apa saja juga saya lakukan sih, Gen. Musik, seni, membaca, dan menulis, mungkin?"

Sungguhan, Fana lebih terdengar seperti gadis lemah lembut yang banyak tersenyum dan sangat ramah dibanding sosok cewek keras, tegas, dan dingin. Genta rela mendengarkan Fana bercerita sepanjang apapun karena suara lembutnya. 

Suaranya jauh lebih lembut dari hembusan angin malam yang selama ini menemani Genta menghabiskan hari. 

"Fan, lo ada mimpi atau sesuatu yang mau lo capai, gitu?" 

Fana diam, terdengar suara gelas yang baru saja diletakkan di meja. Mungkin Fana baru mengambil minuman untuk menemani perbincangan malamnya dengan Genta. 

"Ada, Gen. Dari dulu saya pengen jadi penulis, lanjutin karirnya Bunda yang udah nggak bisa dilanjutin lagi." 

"Emang Bunda lo dimana, Fan?" 

"Bunda udah di atas sana, Gen. Bakat menulisnya di turunkan ke saya langsung, dan ya udah tugas saya untuk melanjutkan." 

"Ah, sorry, Fan.." 

Jujur, hati Genta mencelus dan teriris begitu saja mendengar cerita Fana. Gadis yang terlihat kuat, sangat tegar, dan tangguh itu punya luka kenangan lama akan ibunya. 

"Tidak apa-apa, Gen. Sudah lama juga, Bunda juga masih hidup dalam diri saya kok." 

Suara Fana yang lembut itu sedikit lirih dan bergetar, membuat Genta semakin sedih mendengarnya. 

Malam yang seharusnya membahas topik mimpi masa depan itu justru menjebak keduanya dalam memori lama masing-masing. Genta sungguh belajar banyak dari Fana, ia merasa hidupnya saja sudah berat, tapi hidup Fana jauh lebih berat darinya. 

"Fan, besok sekolah gue anter, ya?" 

"Tidak perlu, Gen. Saya masih bisa bawa mobil sendiri." 

Iya sih ia bisa bawa mobil sendiri, tapi yang ditakutkan Genta adalah Bimo dan teman-temannya kembali mengapa-apakan Fana kalau gadis itu berangkat sendiri. Mereka nekat, sangat nekat kalau kata Daniel, Chris, Otsuka, dan Fino. 

Genta dan FanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang