Kedua || masih tentang fana.

9 3 0
                                    

Genta berjalan keluar kelas, menuju lobby yang ramai. Cowok itu duduk bersandar di dinding lobby, bersama dengan teman-temannya, Fino, Otsuka, dan Daniel. Teman-temannya bercengkrama, hingga sebuah kalimat meluncur keluar dari bibir Otsuka. 

"Fana. Cewek es itu pernah suka sama gue." 

Teman-temannya heboh, sementara Genta dengan tenang dan diam menatap Fana yang duduk sendirian di seberang sana sambil membaca buku. Cewek satu itu memang suka sekali dan betah membaca buku setebal kira-kira ratusan halaman. 

Genta, baru juga buka buku pelajaran yang tebalnya hanya sekitar sepertiga buku Fana, kepalanya mendadak pusing melihat untaian tulisan. 

"Kapan, Ka?" Tanya Daniel penasaran. 

"Udah lama, tiga tahun yang lalu. Tentunya sebelum dia jadi dingin dan tertutup seperti itu." Ujar Otsuka agak lirih. Menurut penilaian Genta, cowok itu suka dengan Fana, hanya saja meraih cewek itu terlalu mustahil. 

"Fana tidak secantik Jeyeon dan Nayeon para primadona sekolah, tapi kalau kalian mengenalnya sejak dulu, pasti tau kalau ia disukai sebab sifat misterius namun hatinya yang selembut kapas." Celetuk Fino. 

"Fana memang terlihat cuek, tapi tidak untuk orang-orang dekat. Sekali Fana membuka diri ke lo, lo bakal seolah tidak mengenal Fana yang dingin. Dan sekali lo ngeliat senyumnya, gue nggak yakin lo bisa lupain senyum itu." Tambah Daniel, yang cukup dekat dengan Fana. 

Genta masih diam, tidak menanggapi sama sekali. Fana bangkit, dan berjalan keluar lobby di ikuti Genta dari jauh. Teman-temannya hanya memandang heran cowok satu itu. 

"Fana!" 

Cewek itu menoleh, ia yang tadinya mau masuk ke dalam mobil hitam legam yang simple dan elegan itu mengurungkan niatnya. Tidak bicara, tapi dari tatapannya Genta tau Fana bingung mengapa ia memanggilnya. 

"Pulang sendiri?" Tanya Genta mendekat. 

"Memang kamu melihat orang lain selain saya?" 

Genta menggeleng. Benar juga, tapi ya apakah Fana tau istilah basa basi? 

"Fan, basa basi doang kali." Ujar Genta sambil terkekeh-kekeh. Kekehan itu berhenti ketika Fana memasang wajah datar, dan tanpa sepatah kata memasuki kursi kemudi. 

"Rasanya Anda sudah cukup punya kepekaan untuk tau kalau saya tidak suka basa-basi." 

Genta bungkam. Fana kalau sudah menggunakan 'anda' itu artinya ia serius, dan tidak ada cara lagi menyelanya karena tata bahasanya juga kata-kata pedas itu sanggup membuat lawan bicara ciut dan tidak sanggup membalas. 

"Alright, then. See you besok!" 

Cowok itu tidak berharap banyak meski senyum di bibirnya begitu cerah. Bagaimanapun juga Fana tetaplah Fana, cewek yang bahkan tidak akan membalas sapaanmu. 

...

Mobil hitam legam itu berhenti di depan lobby. Fana meminta salah satu petugas untuk memarkirkan mobilnya, lalu kemudian menerima kunci dan naik keatas. Menuju apartemennya, tempatnya tinggal seorang diri bersama kamera pemantau di setiap sudutnya. 

Bukan, bukan untuk mendeteksi penjahat. Tapi agar orangtuanya bisa memonitor hidupnya dari mansion besar mereka. Fana tidak tahan dengan sifat mereka yang penuh kekang, dan memaksa tinggal seorang diri di apartemen. 

Untuk kali ini mereka mengalah, tapi ia bagai penjahat di lapas yang selalu dipantau CCTV di setiap sudut ruangan.

"Segera masuk ke kamarmu dan belajar, Fana."

Genta dan FanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang