Cowok itu melirik ke cewek di sebelahnya yang sibuk sendiri membereskan barang-barangnya. Bawaan gadis itu begitu banyak, mengingat ia cukup aktif dalam berbagai ekstrakulikuler seperti fotografi, sastra indonesia, sastra Korea, dan juga lukis.
Fana menghembuskan napas setelah berhasil membereskan barang-barangnya dan bersiap menuju divisi mading seperti biasa, mengirimkan beberapa bait puisi untuk dipajang di mading sekolah minggu ini.
"Perlu gue bantu, Fan?"
Gadis itu menatap Genta yang menjulurkan tangan, menawarkan bantuan. Tubuh mungil Fana terbungkus oleh jaket wol hitam yang menenggelamkan tubuhnya, membuat Genta gemas. Cowok itu baru saja mau mengambil salah satu tote bag Fana karena gadis itu tidak kunjung menjawab, tapi ditahan oleh Fana.
"Tidak perlu,"
Jujur, disini Genta geregetan sendiri. Fana itu kalau bicara jarang menyebut nama lawan bicaranya. Rasanya hanya beberapa kali, itupun untuk menegur dan memberi peringatan. Aneh memang, tapi Genta ingin mendengar Fana memanggil namanya.
"Gue temenin, ya? Nanti di apa-apain sama Bimo dan temen-temennya."
Fana menggeleng, kemudian berlalu meninggalkan ruang kelas yang sejak tadi hanya tinggal mereka berdua itu. Genta segera mengeluarkan ponselnya, menelepon salah satu temannya.
"Dan, lo ikutin Fana. Dia baru keluar dari kelas gue, takutnya diapa-apain sama anak-anak lain. Gue ada keperluan sama anak band yang lain." Ujar Genta sesaat setelah Daniel menjawab panggilan teleponnya.
Di lain tempat, Fana berjalan dengan kepala yang menatap lurus tegak ke depan, begitupun dengan tubuhnya. Postur tubuh Fana yang tegak, mendukung sifat dingin dan kakunya. Dari luar memang Fana terlihat kuat dan tangguh, tapi tidak dengan jiwanya yang lemah.
Seperti sekarang, buktinya ia sudah pasrah dan hanya bisa melirih ketika tubuh kurusnya ditarik beberapa orang.
Tubuh Fana terjerembab begitu saja ke dinding salah satu bilik toilet kesukaan orang-orang di depannya ini untuk menindas. Seluruh tulangnya seakan ngilu bertabrakan telak dengan dinding yang keras, sedangkan mereka dihadapannya hanya tertawa remeh.
"Halo, Cewek Es! Apa kabar nih?" Tanya Gina dengan nada mengejek.
"Gimana? Puas ngerebut Genta, cowok idaman semua cewek itu?" Tambah Gisel, saudara kembar Gina yang kini matanya seolah akan keluar dari kelopaknya.
"Ngomong aja enggak bisa. Bisu begini sok mau ngejar Genta?" Bimo menendang betis Fana, membuat gadis itu meringis sakit.
Bimo mendekat, tangannya sudah bergerak mendekati kerah seragam Fana yang kini sudah tidak jelas lagi bentuknya. Fana memejamkan mata, pasrah kalau-kalau hal paling buruk yang biasa ia bayangkan terjadi.
Belum sampai Bimo memegang kerahnya, Fana lebih dulu mendengar suara orang jatuh. Ia perhalan membuka mata, dan melihat Daniel yang kaki kirinya menginjak lengan kiri Bimo yang terjerembab ke lantai.
"Keluar lo semua!"
Teriakan.
Genta segera menghampiri Fana yang bukannya tenang malah semakin meringsut di lantai, napasnya tidak beraturan dan cewek itu berkeringat dingin. Ia menolak disentuh Genta, membuat cowok itu bingung sendiri.
"Aish, Genta stupid."
Genta melirik horor kepada Daniel yang dengan mudah menyingkirkan tubuhnya, kemudian jongkok dan mulai memegang kedua bahu Fana.
"Fana takut sama suara teriakan, Genta bodoh."
Daniel membiarkan Fana mendekap tubuh besarnya itu. Genta mendadak iri, ingin juga menjadi tempat Fana bersandar. Niat awalnya memang begitu, tapi justru tindakan gegabahnya membuat Fana ketakutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Genta dan Fana
Romance[ON GOING] Genta menemukan Fana dalam dunianya yang gelap dan penuh keji. Genta menjulurkan tangan, menawarkan pertolongan. Tapi Fana bukanlah orang biasa yang langsung menerima pertolongan dari orang lain. Rasa percayanya akan kebaikan sudah hilan...