Ketujuh || tears.

8 0 0
                                    

"Ngapain disini?" 

Cowok yang baru saja duduk disebelahnya itu hanya tersenyum-senyum. Fana bicara dengan berbisik, mengingat mereka masih berada di perpustakaan. Lagipula, selain di atap sekolah, dimana lagi Fana akan menghabiskan waktu istirahatnya?

Genta mengambil buku secara acak, sebuah novel romansa remaja. Berbeda dengan Fana yang suka genre psikologi dan kebahasaan. 

"Buku apa sih itu?" Tanya Genta sambil berusaha melihat sampul depan buku yang Fana baca. 

"Pengkajian puisi, kamu mana ngerti." Fana tetap memasang wajah datar, khasnya ketika di sekolah. Beberapa adik kelas memandangi keduanya, membuat Fana risih dan berharap Genta segera pergi sehingga ia bisa dengan tenang membaca. 

"Kalau begitu ajarin dong biar ngerti." 

"Orang yang dasar kebahasaannya aja masih remedial mau diajar bagaimanapun ya tidak akan bisa." 

Beberapa adik kelas khususnya fans Genta dan pastinya perempuan itu mendelik mendengar omongan Fana. Tidak terima cowok idaman mereka itu di perlakukan sinis begitu. 

Berbalik dengan Genta, cowok itu justru tersenyum dan tetap duduk di sebelah Fana. Tidak berniat menganggu, karena tidak mau membuat Fana mengamuk mendadak di perpustakaan. 

Namanya juga Fana, digombalin atau dimodusin seribu cara juga nggak akan bisa.

Baper enggak, ngamuk iya.

"Fana mana Fana?!" 

Pintu perpustakaan terbanting keras dan menabrak dinding. Gisel dan Gina, keduanya membawa buku tebal bersampul keras yang pasti akan menyapa salah satu tubuh Fana ketika sampai di toilet tempat biasa mereka menindas. 

Tidak ada guru piket yang menjaga disana, itu sebabnya Fana lah yang diberi kepercayaan untuk duduk di meja resepsionis perpustakaan. Melayani adik-adik kelas yang mengisi absen atau meminjam buku. 

"Keluar dulu lo semua!" 

Murid-murid keluar, menyisakan Gisel, Gina, dan Fana di meja depan. Genta sedang mengambil buku di rak belakang, tentunya tidak terlihat oleh dua gadis berambut ombre itu. 

"Halo, Fana..." Sapa Gisel dengan nada sok imutnya. Fana berdecih keras-keras.

"Sendirian ya? Gentanya mana?" Gina mulai masuk ke tempat Fana duduk, mendekat kearah gadis itu. 

"Gini-gini, gue cuma mau berdiskusi aja, kok." Cewek dengan rambut kecoklatan itu menarik bangku kosong, lalu duduk berhadapan dengan Fana. 

Fana kembali merapikan pekerjaannya yang tertunda, merapikan dan menyusun kartu anggota perpustakaan. 

"Saya baru tahu orang-orang dungu seperti anda masih bisa berdiskusi. Bukankah anda hanya memakai embel-embel diskusi untuk menghaluskan tujuan awal, yaitu memaksakan kehendak hingga lawan mau tidak mau tunduk?" 

"Jangan rusak makna baik sebenarnya dari sebuah kata." 

Ucapan pedas nan tajam Fana mengundang emosi Gina dan Gisel. Gisel dengan mudah melempar kotak kartu anggota perpustakaan hingga berantakan di lantai. Gina hanya tertawa, kemudian menampar tulang kering Fana keras dengan sepatunya. 

Gina menarik lengan gadis itu, Fana yang masih kesakitan karena tulang keringnya kembali jadi sasaran itu hanya bisa lemas dan menurut. Tak mungkin di saat seperti ini dengan mudah ia memanggil Genta. 

Mereka hampir keluar dari pintu, ketika Fana mendadak jatuh tersungkur sebab ditendang oleh Gisel dari belakang. Si kembar itu tertawa keras. Gina mengangkat Fana secara paksa, wajahnya sudah cukup takut kalau ada guru yang lewat. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 06, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Genta dan FanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang