Sebentar lagi sampai, ini tidak mudah untukku. Iqbaal hanya diam sepanjang perjalanan sedangkan aku terus menyeka air mata yang akan menetes. Pandanganku terkadang buram, dan aku harus terus mengontrol emosiku agar aku tidak menyelakai Iqbaal.
Aku membelokan Stir mobil kearah kanan, aku memarkirkan mobil Iqbaal dipelataran. Iqbaal tampak mengernyitkan alisnya, aku tau dia pasti bingung. Aku tau mungkin ini hal ceroboh tapi mau tidak mau, suka tidak suka, siap tidak siap, Iqbaal harus mengetahuinya.
“Apa kau baik-baik saja dok?” Astaga Iqbaal masih sempat bercanda disaat seperti ini.
“Kau membelokan mobilku kearah yang salah. Ayo putar balik.” Iqbaal terkekeh. Aku memasang raut wajah serius.
“Ayo keluar.” Ajakku, aku keluar lebih dulu dari Iqbaal. Aku menghampiri Iqbaal disertai helaan nafas panjang.
“Apa ini (namakamu)? Apa kau serius?” Iqbaal sepertinya sadar bahwa aku tidak main-main.
Aku menggenggam tangannya erat dan menariknya untuk terus mengikuti langkahku.
Tangan Iqbaal semakin dingin, aku mendorong pintu besar itu dan berjalan memasukinya aku tak melepas genggaman tanganku dengan Iqbaal. Aku melirik Iqbaal yang tampak sibuk memperhatikan sekitar, wajahnya pucat pasi, bulir-bulir keringat kembali memenuhi wajahnya. Padahal Air conditioner di dalam tak pernah mati.
Aku membawanya menuju altar, semakin dekat dengan altar, semaki kakiku terasa lemas. Hingga akhirnya aku tiba didepan altar dan jatuh bersimpuh lemas; aku melepaskan genggaman tanganku dengan Iqbaal. Aku menangis dihadapan Tuhanku, Iqbaal menundukkan tubuhnya.
Dan merangkul bahuku yang gemetar akibat isak tangis yang pecah.“Ada apa (namakamu)? Kenapa kau menangis? Kenapa kau membawaku kemari? Ada apa, coba jelaskan.” Suara Iqbaal tercekat, Iqbaal berusaha menenangkanku.
“Tuhan aku membawanya kemari, aku membawanya untuk menemui-Mu; pria yang sering aku ceritakan. Pria yang datang menemui Tuhannya saat adzan berkumandang, pria yang tak pernah menemui-Mu saat Lonceng Gereja di dentangkan, pria yang melaksanakan sholat Isya saat aku larut dalam ibadah Misa.
Pria yang tidak akan pernah menemaniku merayakan paskah, pria yang tidak akan pernah menggendong anak-anaku untuk menghias pohon natal.
Apa Tuhannya sudah memberitahukan dia pada-Mu? Tuhan bolehkah aku mencintai dia yang bukan umat-Mu?
Bisakah Kau membiarkan kami bersatu?
Bisakah kau membujuk Tuhannya agar mau memberkati kami?
Bisakah kau melakukannya untukku?
Putri-Mu? Bukankah setiap anak yang mengikuti sekolah minggu dan tak pernah alfa menemuimu disebut Anak Tuhan? Tidakkah Kau mau melakukannya untukku, anak-Mu ... ”Aku terus menangis memohon belas kasih Tuhan yang ku ketahui sangat mengasihi umat-Nya. Aku sedikit terkejut saat Iqbaal jatuh terduduk disampingku. Iqbaal memutar sedikit posisi badanku.
“(Namakamu) a..ppa.. kau? Astagfirullah..” Suara Iqbaal bergetar, Iqbaal meneteskan airmatanya. Walau tak banyak.
“Yaa.. Iqbaal, harusnya kau sadar kenapa kau tak pernah bisa mengajaku lari pagi, harusnya kau sadar kenapa aku selalu enggan saat kau ajak sholat. Karna aku berbeda denganmu Iqbaal!
Aku sudah lama memperhatikanmu dari sini. Aku bahkan tau saat kau membantu menyebrangkan jemaat lansia. Apa kau benar-benar tak pernah melihatku disini?
Sedang aku selalu memperhatikanmu.
Apa yang kau harapkan sekarang?” Aku berteriak histeris kearah Iqbaal“Dimana kita akan menyakralkan cinta kita? Di Altar dalam gereja yang damai, atau di atas Sajadah dalam masjid yang tentram itu?
DIMANA IQBAAL!!
Di depan Tuhan siapa kau akan berjanji? Dihadapan pastor atau penghulu kau mau melantangkan janji itu? Atau memang ‘Tasbihmu dan Rosarioku’ ditakdirkan untuk tetap erat pada genggaman tangan kita masing-masing.”
Aku berteriak kearah Iqbaal, sedang Iqbaal hanya menggelengkan kepala dan beranjak bangkit. Dengan perasaan yang sama kacaunya Iqbaal melenggang meninggalkan altar. Meninggalkan aku yang masih terduduk di altar, sekarang Iqbaal pergi, dia pergi meninggalkanku sendirian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tasbihku Bukan Rosariomu - IDR
Fanfiction"Apa hanya karena berbeda penyebutan nama-Nya kami tak bisa melanjutkan langkah? Saat semua sudah teraba, Tuhan malah asik bermain dalam sabar. Aku tau aku tidak pantas menerka isi hati-Nya yang memang bukan kuasaku. Kisah cinta segitiga yang meliba...