Chapter - 8

1.1K 114 20
                                    

Sejak kejadian ditaman tadi (namakamu) masih saja bungkam, sudah berkali-kali Aldi membujuk adik perempuannya itu untuk berbicara. Aldi menatap (namakamu) dengan heran, memperhatikan bagaimana (namakamu) memasukan baju-bajunya kedalam koper besar secara kasar dan brutal.

“(nam..) mending gue aja yang nge-pack semuanya. Kalau kaya gini nanti dua kali kerjaan baju lo kusut, terus lo harus setrika ulang baju yang harusnya rapih.”

Aldi jengah, tidak tahan lagi melihat kelakuan (namakamu) yang semakin menjadi. (namakamu) hanya menganggap tegurannya angin lalu, ia terus menekan gulungan bajunya untuk masuk kedalam koper.
Merasa diabaikan, Aldi menarik bahu adiknya dengan kasar, membuat gadis itu berbalik jatuh terduduk diranjang. Tangisnya pecah seketika, sontak hal itu membuat Aldi kelimpungan pasalnya ia tak pernah melihat (namakamu) menangis sehisteris ini sejak kematian mendiang papa mereka. Aldi merengkuh (namakamu) dalam dekapannya, tapi bukannya tenang (namakamu) justru terisak.

“Ada apa (nam...)? Gue tau ada yang lo sembunyiin dari gue.” tanya Aldi sambil menepuk-nepuk punggung (namakamu). Isakannya kali ini bahkan terasa lebih memilukan dibanding jerit tangisnya tadi.

“Apa ada hal yang lo tutupin dari gue sama mama?” Tangan Aldi beralih mengelus lengan atas (namakamu).

“Tapi, kenapa? Kenapa lo sembunyiin sesuatu dari kita? Dari keluarga lo sendiri.” Aldi menghela nafas panjang sementara (namakamu) menggeleng lemah, hatinya tersayat, ketidak-terus-terangannya selama ini melukai Aldi.

“Maaf ko, please tinggalin gue sendiri.” Lirih (namakamu) disela isaknya yang kian melemah.

“Gak, sebelum lo terus terang.” Aldi merenggangkan dekapannya, menelisik kedalam bola mata (namakamu) mencoba mencari satu, dua hal yang tidak ia tahu.

“Yaudah kalo gitu gue aja yang pergi.” (namakamu) beranjak menuju kamar mandi, rasanya ia perlu membersihkan dirinya. Sementara Aldi membongkar kembali koper (namakamu), menata ulang pakaian yang dimasukan asal dan sudah sedikit kusut.

Bukannya tenang, tangisnya malah kembali luruh bersama guyuran air yang menerpa tubuh lebamnya. Selang setengah jam (namakamu) keluar dari kamar mandi, ia tertegun melihat kamarnya sudah rapih, koper-kopernya sudah berdiri tegak, dengan langkah lunglai ia mencari baju berputar di walking closet. Pilihannya jatuh pada celana pensil putih, blouse berwarna salem dan sneakers yang senada dengan warna blouse. Wajahnya hanya ia poles dengan bedak tipis, mengaplikasikan sedikit lipgloss pada bibirnya, serta rambut yang bergelombang pada bagian bawah ia biarkan terurai jatuh.

“Ma, (namakamu) berangkat sekarang ya..” (namakamu) memeluk mamanya erat.

“lhoo kok buru-buru banget? Bukannya take off jam 01.50? Ini baru jam 1 siang (nam...)” Mama (namakamu) mengelus lembut anak gadisnya.

“Aku mau kerumah Salsha ma.. aku mau berangkat bareng biar nggak ngerepotin koko buat anter aku tengah malem ke bandara.”
(namakamu) melepaskan pelukannya.

“Tapi gue gak keberatan kok (nam), Gue mah gak tidur seharian juga rela.” Aldi mendekati (namakamu) yang tengah memegang kopernya.

“Gue udah pesen taxi ko, lo banyak-banyak istirahat aja. Pak bos kan nggak boleh cape. Hihihhi..”
(namakamu) berusaha membuat nadanya seceria mungkin, (namakamu) mengecup pipi Aldi sekilas, “Gue titip mama ya ko. Mama baik-baik yaa sama koko.”
Kini (namakamu) menghadiahi mamanya kecupan bertubi-tubi di pipinya.

Koper terakhir telah di masukan kedalam taxi, (namakamu) menatap dua orang tersayangnya dari dalam taxi. Entah apa yang salah ia hanya merasa tidak akan kembali kerumah ini, ia merasa jiwanya tertinggal; ia merasa akan pergi lama sangat lama sampai ia kehilangan kehangatan yang selama ini melingkupinya.

Tasbihku Bukan Rosariomu - IDRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang