13. Hari Itu 1

1.9K 271 97
                                    

Suasana koridor tampak ramai ketika aku keluar dari kelas. Murid laki-laki berkumpul membicarakan olahraga atau film-film mencurigakan seraya terbahak. Sedangkan yang perempuan bergegas pulang demi mengikuti les, karena一seperti yang sering ditekankan guru一ujian akhir tinggal menghitung minggu.

Aku adalah salah satu dari mereka yang melangkah ke gerbang, tapi untuk tujuan yang sama sekali berbeda; bertemu Yuta!

Akhirnya!

Yuta bilang dia akan datang, setelah lebih dari 2 bulan lamanya. Dia mengatakannya 3 hari yang lalu, disertai janji sebuah hadiah yang ia rahasiakan.

Tapi sungguh, itu tidak perlu. Aku tidak butuh hadiah apa-apa. Berkah yang aku inginkan teramat sederhana, berupa keingan melepas rindu. Aku sangat merindukannya, sampai sulit tidur nyenyak semalam. Pikiranku aktif bekerja menebak warna baru rambutnya, dan apakah dia sudah menambah tindikan lagi.

Pokoknya, aku senang sekali, sesenang anak kecil di taman bermain. Seringai tak bisa kusembunyikan, kakiku melangkah seolah terbang. Langit yang mendung tak bisa mempengaruhi suasana hatiku yang cerah.

Tapi Jaehyun bisa...

Dia berdiri menungguku di dekat gerbang, tersenyum kecil.

Aku ingin berpura-pura tidak melihatnya, tapi mata kami sudah terlanjur bertatapan. Jadi aku tidak bisa kabur saat langkah kakinya membawa ia mendekat.

"Apa kabar, Rose?" Sapanya. "Lama tidak bicara denganmu, rasanya seperti kita bersekolah di tempat yang berbeda. Haha."

Tawanya yang palsu menggugah sepercik rasa bersalah, yang muncul dibarengi rindu lain untuknya. Tidak sekuat Yuta, tapi rindu itu ada, kusimpan rapat-rapat tiap kali terbersit hasrat sekedar ingin bertukar kabar.

Tidak pernah menurutinya, tidak memberi dia kesempatan tumbuh, aku malu, mengakui seberapa banyak kata-kata Chaeyeon berefek padaku. Aku masih berpikir Chaeyeon salah, karena aku tak sejahat yang ia duga dan aku tidak merasa memanfaatkan Jaehyun, namun, dia juga tidak sepenuhnya salah dan itulah yang menjadi kendala.

Ada batu di jalan yang dilalui Jaehyun dan aku, atau hewan yang merusak bunga kami  sebelum bunga itu resmi mekar.

Akibatnya, kami tak punya apapun kecuali jalan buntu dan serpihan rasa yang tersebar tak menentu.

"Kau menghindariku beberapa hari ini," imbuh Jaehyun, membetulkan tali ranselnya yang merosot ke bahu. "Apa aku melakukan kesalahan?"

Ya, jawabku dalam hati. Tapi mulutku berkata, "tidak." Satu-satunya kesalahan Jaehyun adalah, dia terlalu baik sehingga kadang membuatku terlihat jahat. "Hanya perasaanmu saja."

"Benarkah?" Jaehyun jelas tidak percaya. Wajar, karena teman sekelasku pun sadar aku menjauhinya. Meregangnya hubungan kami bahkan jadi semacam gosip terpanas, dibisikkan di lorong-lorong sekolah yang remang-remang, dengan banyak bumbu disana-sini, yang semakin menambah seru.

Jaehyun mengalah, tidak memperpanjang perdebatan. "Sepertinya begitu."

Hatiku rasanya terpilin. Aku ingin berkata pada Jaehyun bahwa semuanya baik-baik saja, bukan dia yang salah dan bahwa ini yang terbaik.

Kalau sudah dekat dengan seseorang, menjauhinya memang jadi misi yang tidak mudah, tapi mengingat aku akan segera menyusul Yuta, adakah pilihan yang tersisa, yang paling tidak menyakiti kami kecuali saling menjaga jarak?

Kami harus mulai terbiasa.

"Iya. Aku tidak menghindar kok. Aku cuma sedang terburu-buru sekarang, ada urusan di taman."

Bored ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang