20. Terkuak

1.4K 232 44
                                    

1 hari berlalu begitu cepat. Bertambah menjadi 2. Dan menyentuh angka 3. Matahari terbit dan tenggelam seperti biasa. Jam tetap berdetik, dengan suara yang mencekam, mengejek hidupku yang kelam.

Selama itu, aku tak benar-benar tahu bagaimana aku menjalaninya. Aku sibuk melarikan diri, bersembunyi di balik kabut mimpi yang sunyi, tempat aku bisa beristirahat melepas penat.

Dalam mimpiku, aku aman. Tidak hamil. Masih bahagia.

Itu sebabnya aku enggan bangun. Sebisa mungkin menghindar dari kenyataan yang tak mengenal rasa kasihan. Kalaupun harus terjaga, aku hanya berpikir dan berpikir, tanpa pernah menemukan solusi yang menuntun pada kebahagiaan di akhir.

Tapi aku tidak sendiri. Ada 1 orang yang menemani.

Ia selalu ada. Dengan kalimat-kalimat lucunya berhasil mengubah duka menjadi tawa. Menjadikan keadaan ini lebih bisa diterima, walaupun untuk sesaat yang singkat.

Namanya Nakamoto Yuta.

Benar, bukan ayah si bayi, tapi Yuta, yang menyelamatkanku sekali lagi.

Aku tidak tahu di mana Jaehyun sekarang, apa yang dia lakukan atau apakah dia masih peduli padaku. Dia tidak menelepon. Tidak pula mengirim pesan terlepas sudah 3 hari aku absen.

Hanya ada Yuta dan perhatian-perhatian kecilnya yang amat aku butuhkan. Dialah yang mengingatkanku untuk minum obat, mengajak video call untuk main tebak-tebakan yang jawabannya mengundang tawa, juga memberi semangat soal audisi yang kelanjutannya masih menjadi misteri.

Dihadapannya, aku bersikap biasa saja, karena si bayi harus tetap menjadi rahasia.

Sejauh ini, aku berhasil.

Yuta tidak curiga一sedikitpun. Ia kira aku sekedar demam dan membantuku dengan membuat daftar lagu yang menurutnya cocok dengan karakter suaraku. Dia bilang, orang-orang di YG bodoh kalau menolakku. Mereka akan rugi sendiri, katanya penuh semangat.

Aku tertawa, menikmati moment singkat dimana semua masalah terasa seringan sayap kupu-kupu. "Jangan khawatir. Aku pasti lulus. Akan kuhajar mereka seperti aku menghajar Jiyul jika sampai tidak."

"Bagus," jauh di Osaka, di sebuah negara yang berbeda, Yuta ikut tertawa. "Karena aku sudah menyiapkan hadiah untukmu."

"Apa itu?" Tanyaku, sembari berguling meraih sebuah bantal dan memeluknya.

Yuta berdeham, menggodaku dengan tidak segera menjawab. Hembusan napasnya terdengar bersahutan dengan ramainya lalu lintas. Aku bisa mendengar suara klakson, knalpot motor dan percakapan orang-orang dalam bahasa Jepang; denyut kehidupan di kota kelahirannya. "Lukisan. Tapi yang ini SANGAT istimewa. Aku membuatnya dengan darah, keringat dan air mata."

"Mulai lagi deh," aku mendengus, diam-diam menahan senyum. "Jangan dramatis!"

Yuta terkekeh, sejenak menyapa seseorang sebelum bicara lagi. Kurasa ia sudah sampai di kampusnya sekarang. Aku membayangkan dia memakai kemeja yang bagian atasnya dibuka 2 kancing, celana jins lusuh, dan ransel hitam yang disampirkan di satu bahu. Pasti sangat tampan. "Bercanda. Ini lukisan hyperrealisme. Yang mirip foto itu lho. Kita pernah melihatnya di pameran dulu."

Pemahaman menyambangi pikiranku dengan cepat; lukisan hyperrealisme adalah jenis lukisan yang berusaha meraup kenyataan sebanyak mungkin. Mereka, seninamnnya, merupakan insan berbakat yang bisa menghasilkan karya dengan keindahan fantastis, bahkan menyamai sebuah foto.

Bored ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang