44. Penghujung

1.1K 170 38
                                    

Dia akan datang; aku bisa merasakannya.

Seolah kami 2 jiwa yang bersatu, terjebak di 1 tubuh. Ah, salah. 'Terjebak' bukan kata yang bagus. Lebih tepatnya, kami saling mengikatkan diri. Ini pilihan kami. Semua yang terjadi adalah akibatnya. Dan meski aku masih berurai air mata, di sisi lain aku lega telah mengungkapkan isi hatiku; beban, keinginan, dan keluhan yang terpendam.

Duduk di depan apartemen Johnny yang dihuni Yuta, aku sadar ini yang terbaik. Aku dan Jaehyun, sepasang suami-istri, ayah dan ibu, memang harus berpisah, belajar dewasa.

Lalu ada Yuta, datang secepat pegawai yang hendak meminta gaji pada bosnya. Secepat para wanita mengejar diskon. Secepat pria yang akan memenangkan kekasihnya. Hubungan ini terlarang, tapi saat melihat wajah panik Yuta dan keringat di dahinya, siapapun takkan berani berkata bahwa cintanya kalah besar dari Jaehyun.

"Rosie?" Dia mengetuk kaca, pelan tapi mendesak. "Kau baik-baik saja?"

Aku menggeleng, membukakan pintu. Terlalu lelah dan tak sanggup berpura-pura kuat, aku menangis di hadapannya. Aku tidak baik-baik saja一sudah lama tidak begitu. "Aku bertengkar dengan Jaehyun. Dia marah. Dia membentakku."

"Jaehyun ya..." Perubahan ekspresi Yuta tidak kentara. Kalau kau tidak mengenalnya, kau tidak akan tahu di marah. Keningnya tidak berkerut, dia tidak mengumpat. Tanda itu berada di matanya; yang menyipit dan menajam, seumpama pisau yang baru di asah, siap memotong apa saja. "Kenapa? Apa masalahnya? Dia tidak menyakitimu kan? Secara..."

"Secara fisik? Tidak." Aku tertawa di situasi yang aneh ini, gagal membayangkan Jaehyun bersikap agresif. Defininisi marahnya adalah diam. Dia baik. Dia tidak sepertiku yang sering melarikan diri dari masalah. "Itu salahku一sungguh. Jaehyun berhak marah karena aku yang salah."

Kalimat itu tidak efektif membuat Yuta puas. Permusuhannya dengan Jaehyun menguat, ibarat retakan di sebuah bangun hancur yang makin lama makin melebar. Ibarat lautan tenang yang akan mengecohmu, karena di balik air tenang itu, ada ombak yang bergulung-gulung. Arus kuat mengerikan. Badai yang tertahan.

Sementara, dia menyimpannya untuk dirinya sendiri. Yuta memelukku, mengelus rambutku dalam diam. Dia tidak perlu bicara, tindakannya telah mewakili kata yang tidak ia keluarkan. Aku pun tidak butuh kata-kata penghiburan yang tak bermakna. Aku butuh dia dan hanya dia.

"Ayo kita masuk," ajaknya, mengambil dompet dan ponselku di mobil, kemudian menutup pintunya. Jeda sesaat, Yuta menghapus air mataku dengan lembut, menggandeng tanganku.

Kami melangkah. Beriringan, melewati penghuni apartemen lain yang penasaran. Dia menyerahkan kunci mobilku pada satpam, memintanya memarkir kendaraan itu di tempat yang seharusnya. Yuta selalu berpikir jernih一itu satu dari sekian banyak hal yang kukagumi darinya. Waktu telah menjadikannya lebih dewasa.

Lift di apartemen ini nyaris tidak mengeluarkan suara saat bergerak. Dalam beberapa detik, kami sampai di lantai 6, dan segera menuju unit tempat tinggalnya.

Pintu terbuka usai Yuta mengetik password, menampakkan ruang duduk luas yang berantakan. Sofa besar melintang di tengahnya, dilengkapi beberapa bungkus snack. TV menyala, menayangkan film yang dilarang di tonton anak-anak. Sekotak pizza tergeletak di atas meja, bersanding dengan kaleng-kaleng cola. Melengkapi semua itu, seorang pria, yang mengenakan celana pendek serta kaus hitam, mengerjap pada kami berdua.

Johnny Seo tertegun, batal menyantap pizza yang sudah akan ia telan. Mulutnya menganga, bertanya, "Aku bermimpi, ya? Kau membawa seorang wanita? Dia siapa?"

Yuta menjawab, "Kanojo," yang mengagetkan baik aku dan Johnny, sebab  kata itu berarti 'pacar' dalam bahasa Jepang. Tanpa menghiraukan kami yang melotot, dia melanjutkan, "Dia akan tinggal di sini."

Bored ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang