12. Kesalahan Ketiga

2.1K 271 116
                                    

Hujan yang sempat turun rupanya tidak  menyurutkan niat orang-orang untuk mengunjungi pameran. Sebagian besar dari mereka mahasiswa, yang lain kuyakini adalah penggemar seni berpakaian rapi, yang bicara dalam beberapa bahasa sekaligus.

Kebanyakan bergegas masuk usai menunjukkan tiket atau undangan, tapi beberapa berhenti di pintu masuk, menatap Yuta dengan tatapan ingin tahu.

'Apakah dia pelukisnya?'

Mungkin itu yang mereka pikirkan.

Yuta yang menyadarinya mengumbar senyum pada mereka, tak ubahnya pengunjung taman yang memberi makan merpati. Ada tipe orang yang suka berada di bawah lampu sorot, ada juga yang tidak; contohnya Chaeyeon.

"Ayo," kata gadis itu, terang-terangan merengut sebal. "Kita bicara di bar di sudut jalan."

Aku mengamati mereka dari dalam mobilku, sedikit membuka jendela agar suara keduanya terdengar lebih jelas. Ini tidak bisa disebut menguping, aku hanya ... tidak mau mengganggu. Ya, benar. Itu saja.

Yuta menolak, ia bilang, "Lebih baik di sini. Aku sedang menunggu seseorang."

Chaeyeon terlihat kesal. Ekspresi itu tidak asing, sering ia tujukan padaku. Menurut Chaeyeon, kehadiranku saja sudah merupakan masalah dan dia jelas juga menganggap Yuta sama. Tanpa menoleh, ia menjauh dari lokasi pameran, berjalan ke mobil putih yang kuketahui adalah miliknya.

Yuta mengikuti dengan santai. Seolah tak menyadari hentakan kaki Chaeyeon yang menegaskan kekesalannya. "Mau bicara apa?"

Menyandarkan tubuh sebelum menjawab, Chaeyeon menyilangkan lengan di depan dada. Caranya mengamati Yuta sudah seperti hakim yang menilai tersangka pembunuh berdarah dingin. "Kapan kau akan kembali ke tempat asalmu?"

Tawa tertahan keluar dari mulut Yuta. Mereka berdiri saling berhadapan, dengan aura tidak bersahabat yang memancar layaknya asap pekat. Tapi posisi Yuta agak miring, jadi aku masih bisa melihatnya. "Kenapa tidak sekalian saja menyebutnya 'habitat'?"

"Tidak lucu."

Tidak, itu lucu. Aku nyaris tertawa mendengarnya. Tampaknya suasana hati Chaeyeon sedang buruk atau tahun-tahun yang dia lewati sebagai pengacara serius sudah membuat selera humornya jadi kian payah. Atau, kemungkinan terbesar, karena Yuta. Keduanya tak pernah akrab. Itu sebabnya aku heran dia kemari.

"Ah, sial. Kalau Rosie ada di sini dia pasti akan tertawa."

Namaku membuat Chaeyeon menoleh cepat, kaget. "Kau menemui Rose?!"

Gelengan kepala. Senyum miring sarat ejekan. Yuta mengambil sebungkus permen karet dari sakunya, memakannya dengan tenang. Dalam hal ini, dia tidak berbohong. Pertemuan kami terjadi berkat unsur ketidaksengajaan. Chaeyeon harus lebih spesifik.

"Bagus. Sebaiknya menjauhlah dari mereka."

Singkat, tapi langsung bisa memancing emosi. Chaeyeon ternyata tidak berubah; ia masih suka mencampuri urusan orang lain.

Menjauh, katanya? Apa haknya mengatakan itu?

Yuta memindahkan tumpuan dari 1 kaki ke kaki yang lain. Ada api amarah kecil yang menyala karena ketidaksukaannya diatur-atur oleh siapapun, tapi selang beberapa detik, dia menggantinya dengan senyum lebar yang teramat manis. "Sudah kulakukan selama 7 tahun kan?" Dia tergelak. "Bercanda, jangan salah paham. Aku cuma ke sini untuk bekerja."

Chaeyeon berdiri lebih tegak, mata memicing. Sikap tubuhnya mengingatkanku pada kucing liar yang hendak menyergap seekor burung. "Lalu kenapa sampai datang ke reuni yang bukan angkatanmu?"

Namun, Yuta bukan seekor burung yang tak berdaya, yang akan membiarkan kucing itu menang dengan mudah. Dia terlampau lincah, bisa terbang membawa kucing itu berputar-putar, hingga si kucing tidak sadar  berada di dekat selokan dan tercebur.

Bored ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang